Anak muda, pergilah! Tinggalkan Indonesia!
Artikel Penyemangat
copas dari : http://madeandi.com/2014/11/22/anak-muda-pergilah-tinggalkan-indonesia/
Ada seorang perempuan muda duduk dan sedang membaca
buku. Dia takzim menyimak kata demi kata di buku itu dan sesekali melingkari
lokasi-lokasi di peta yang menghiasi halaman yang sedang dibacanya dengan pena.
Dari wajah dan buku yang dibaca, saya duga dia orang Jepang atau mungkin China.
Entahlah. Saya duduk di sebelahnya, sebentar lagi pesawat akan terbang dari
Jakarta ke Jogja. Perempuan muda itu menoleh sekilas, tersenyum sesaat lalu
tenggelam lagi dalam bacaannya.
“In a holiday?” tanya saya setelah
mengencangkan sabuk pengaman. Saya tidak menoleh, hanya melirik saja, sekedar
untuk memulai percakapan. Rasanya aneh jika tidak menyapa orang yang duduk di
sebelah saya dalam sebuah perjalanan yang berlangsung satu jam. “Yes”,
katanya sambil menengok. Mungkin dia tidak menyangka saya akan menyapanya. “I
hope you enjoy Indonesia” kata saya singkat sambil tersenyum. “Yes”
katanya singkat dan berhenti membaca. Dari jawabannya saya bisa tahu, Bahasa
Inggrisnya tidak lancar tetapi dia berusaha dengan baik.
Merasa ada yang tertarik mengajak bicara, dia merespon
dengan baik. Saya akhirnya tahu, dia dari Jepang. Usianya mungkin masih awal
duapuluhan, masih terliat sangat muda. Dia mengenakan topi dengan baju tanpa
lengan, nampak sporty dan sedikit tomboy. Dia menceritakan sudah
pernah ke Indonesia sebelumnya dan ini adalah kali kedua. Katanya juga, dia
punya waktu tiga hari libur dan memanfaatkannya untuk mengunjungi Indonesia.
Dia bekerja di sebuah perusahaan yang saya tidak pernah dengar namanya. Mungkin
bukan perusaan besar, meskipun katanya ada cabangnya di Jakarta. Perusahaannya
memproduksi tinta untuk percetakan.
Di sela-sela percakapan dia tekun menyimak buku,
menandai nama-nama tempat dan melingkari lokasi-lokasi yang dianggapnya
penting. Dia baru petama kali ke Jogja, dengan Bahasa Inggris yang seadanya dan
melakukan rencana perjalanan sendiri tanpa dibantu siapapun. Modalnya adalah
buku Lonely Planet versi Bahasa Jepang. Dia dengan fasih menjelaskan bahwa dia
akan tinggal di sebuah hotel di dekat tugu yang informasinya diperoleh dari
Internet. “Trans Jogja” katanya ketika saya tanya bagaimana dia akan menuju
hotel dari bandara. Dia juga bisa menjelaskan arah dan rute ke Borobudur dan
Prambanan yang akan dikunjunginya di hari pertama nanti. Dia nampak siap,
meskipun, sekali lagi, dengan Bahasa Inggris yang mengenaskan.
Melihat dia berjuang untuk mengucapkan setiap nama
tempat dan berusaha mengingat-ingat nomor bus yang akan dinaikinya, tidak tega
rasanya untuk tidak berbasa-basi menawarkan bantuan. “I might be able to take
you to the hotel. My wife will pick me up at the airport. She will be happy to
drive you off.” Dengan sopan dan terbata dia menjawab “no, thanks. I
want by myself. Adventure” dengan senyum khas cewek Jepang, meringis dan
sopan. Saya terkesima. Atau mungkin karena dia tidak percaya pada saya. Tapi
anggap saja bukan itu perkaranya.
Seorang anak muda Jepang, datang ke sebuah negeri
asing dengan Bahasa Internasional yang mengenaskan. Dia menjelajah hanya
mengandalkan buku dan peta yang mungkin tingkat akurasinya tidak begitu tinggi.
Dia memasuki lingkungan asing yang ribuan kilometer jauhnya dari kenyamanan
rumahnya di Jepang hanya untuk memuaskan rasa penasarannya. Untuk
menyempurnakan petualangan itu, dia menolak menerima kemudahan karena ingin
melatih naluri bertualangnya. Perempuan itu mengingatkan saya pada para
mahasiswa saya, anak anak muda warga negara kepulauan terbesar di dunia:
Indonesia.
Beberapa waktu lalu saya menggunakan pendekatan Renald
Kasali dengan bertanya “siapa yang sudah memiliki paspor” ketika mengajar di
kelas. Hanya sedikit yang angkat tangan. Mereka mungkin belum siap menjadi
warga dunia yang menganggap pergi ke Klaten itu tidak berbeda dengan pergi ke
Singapura. Saya katakan, Indonesia ini nomor 16 dunia, nomor 5 di Asia dan
nomor 1 di Asia Tenggara dalam hal PDB. Presiden kita duduk bersama 19 pemimpin
dunia lainnya untuk menentukan arah ekonomi dunia. Pertanyaannya, sudahkan anak
mudanya memiliki mental dan kesadaran itu?
“Bahasa Inggris saya belum lancar Pak” kata seorang
mahasiswa ketika saya tanya mengapa tidak bepergian ke luar negeri, di luar
persoalan keuangan. Mengapa kita harus takut hanya gara-gara tidak lancar
berbahasa Inggris? Percayalah, kita tidak akan mati hanya gara-gara tidak bisa
mengatakan nama makanan saat pergi ke sebuah restoran. Bukankah bahasa yang
paling penting di dunia itu adalah bahasa understanding? Bukankah setiap
orang dikarunia kemampuan bahasa isyarat secara alami, jika terpaksa? Ini jelas
bukan persoalan kemampuan bahasa internasional tapi soal mental. Seorang
penakut tidak akan pernah merasa siap untuk lepas dari pelukan ibunya, meski
dilengkapi banyak uang dan kemampuan bahasa internasional yang mumpuni.
Saya tidak bisa berbahasa Perancis, Belanda atau
Jerman namun bisa selamat ketika tersesat di Belgia. Bagaimana caranya? Google
Translate dari HP menyelamatkan saya. Yang diperlukan hanya keteguhan hati
untuk bertahan maka sisanya adalah catatan sejarah yang akan berwarna dan
mengesankan ketika dibaca di kemudian hari. Bayangkanlah betapa lebih hebatnya
menceritakan tersesat di sebuah negeri asing yang memacu adrenalin dibandingkan
bercerita tetang mengantar mamah untuk pedicure di salon dekat rumah.
Bayangkanlah betapa jauh lebih dasyat menceritakan hampir ketinggalan pesawat
di sebuah bandara kecil di Vietnam dibandingkan menulis status “folbek dong
kakak” dengan wajah memelas dan tak pernah berbalas.
Tidak punya uang? Ini memang jadi persoalan. Ingat,
untuk pergi ke Malaysia atau Vietnam, kini bisa kurang dari satu juta pp jika
ada tiket promo. Sejuta memang mahal tetapi sadarkah kalau itu artinya sama
dengan menabung 100 ribu setiap bulan selama 10 bulan? Kiriman orang tua
pas-pasan? Bisa bekerja paruh waktu di warnet terdekat, bisa membantu dosen
untuk penelitian atau menjadi asisten yang dibayar 100 ribu per bulan, bisa
berhemat dengan naik sepeda ke kampus sehingga tidak perlu beli bensin untuk
motor, bisa berhemat dengan ketat sehingga bisa menyisihkan 100 ribu sebulan
tanpa harus menghasilkan uang tambahan, atau kendalikan nafsu nonon di XXI beberapa
kali saja. Tidak bisa juga? Hidup Anda mungkin memang amat sangat sulit dan
saya bersimpati tetapi bisa juga karena Anda seorang pemalas stadium tinggi.
Jika bekerja keras adalah hal yang Anda takutkan maka itu adalah cerita lain!
Jika bisa memutar ulang waktu, saya akan tiru aksi
Yukiko, perempuan muda dari Jepang itu. Saya akan jelajahi Asia Tenggara. Saya
akan bekerja keras berhemat dan menabung selama satu semester sehingga di
liburan semester saya bisa menghirup udara Orchard Road di Singapura. Saya akan
duduk santai menikmati air mancur di taman KLCC di Kuala Lumpur sambil melewati
senja yang temaram meski perut lapar tidak bisa beli makan malam. Saya akan
berjuang di ruwetnya kemacetan lalu lintas di Bangkok sebelum menikmati tomyam
murahan di kaki lima. Saya akan gendong ransel lusuh saya saat menyusuri
jalanan berdebu di Ho Chi Minh City dan menikmati gorengan yang tak ubahnya
dengan Jogja. Saya akah habiskan uang yang biasanya saya gunakan untuk
nongkrong di sebuah cafe di jalan Kaliurang untuk berbelanja di pasar apung
Thailand. Saya akan terapkan keterlatihan saya berpuasa setiap Ramadhan dengan
hanya minum air putih saat menjelajahi jalanan Singapura dengan berjalan kaki
dan hanya berbekal berberapa botol air putih. Saya akan habiskan uang yang
biasanya saya gunakan untuk beli voucher game online untuk membayar hotel murah
di Hanoi yang seharga 10 dolar Amerika semalam. Saya akan penuhi instagram saya
dengan foto selfie di dalam jeepney Filipina yang sumpek, bukan
dengan foto-foto gaya narsis di sebuah mall yang bersih tapi gersang. Saya akan
lakukan hal-hal yang ketika saya ceritakan membuat saya bangga, heroik dan
berarti.
Untuk apa ke luar negeri? Untuk memenuhi rasa
penasaran. Untuk membuktikan bahwa saya hidup di negeri yang gemah ripah loh
jinawi. Untuk membuktikan bahwa saya hidup di zamrud katulistiwa yang tidak
dikelilingi lautan tetapi kolam susu. Untuk membuktikan bahwa negeri ini memang
subur makmur sehingga tongkat kayu dan batu pun jadi tanaman. Untuk membuktikan
bahwa negeri ini adalah negeri yang toleran, memberi ruang hidup kepada orang
dengan keyakinan yang berbeda. untuk membuktikan bahwa orang-orang di negeri
saya ramah tamah dan santun bukan buatan. Untuk membuktikan bahwa apa yang saya
baca tentang negeri saya di buku PPKN dan PMP benar adanya.
Anak muda, menjelahlah. Arungi dunia. Jangan hanya
berhenti di pinggir pantaimu yang indah. Dunia adalah sebuah buku. Orang yang
tidak menjelajah hanya mengetahui sampulnya saja. Kamu adalah warga negara
kepulaun terbesar di dunia dengan seperempat miliar manusia. Negeri ini akan
menjadi 7 besar kekuatan dunia saat generasimu menjadi eksekutif muda. Kamu
akan duduk rapat dengan orang-orang yang warna kulitnya berbeda. Kamu akan
memimpin sebuah tim yang anggotanya bermacam-macam warna paspornya. Kata-katamu
tidak hanya akan menentukan nasib segelintir orang di sekitarmu tetapi bisa
menimbulkan gejolak di pasar modal di New York. Apa yang kamu dan genarasimu
lakukan akan menjadi tajuk rencana di koran-koran dunia dan para pembaca akan
dengan serius menjadikannya catatan untuk langkah mereka selanjutnya. Kamu
adalah generasi seperti halnya Yukiko yang tidak gentar menjelaji lorong-lorong
sepi di negeri asing karena berbekal rasa penasaran yang hebat.
Tinggalkanlah Indonesia untuk menghirup udara semesta
raya. Kibarkanlah merah putih di negeri-negeri asing yang jauh hingga para
penyimak terpana. Lalu suatu saat nanti kembalilah ke pangkuan ibumu.
Tersenyumlah karena kamu sudah tahu dunia. Akan kamu nikmati caci maki serta
puja puji teradap bangsamu dengan senyum yang sabar. Bukan karena kamu takut
tetapi karena kamu sudah melihat dengan mata kepalamu sendiri bahwa bahwa kamu
adalah anak negeri Zamrud Katulistiwa yang tak punya alasan untuk tunduk
apalagi teraniaya oleh negeri manapun. Kamu, seperti juga Yukiko, menolak
kemudahan karena kamu tahu itu akan memanjakanmu dan membuatmu lantak binasa di
satu ketika.
PS. Jika Anda suka tulisan ini, mungkin Anda juga suka
buku saya “Anak Dusun Keliling Dunia” dan “Berguru ke Negeri Kangguru”. Silakan
tengok di sini.
Komentar
Posting Komentar