PERSPEKTIF ILMU, SENI, DAN AGAMA DALAM KHAZANAH ILMU PENGETAHUAN, BUDAYA,
DAN PERADABAN
A. PENDAHULUAN
Saat ini kemajuan
ilmu dan pengetahuan sedemikian pesatnya. Banyak fenomena aneh di masa lalu
kini adalah merupakan kejadian biasa dan bisa dijelaskan secara nalar ilmiah.
Sebagai contoh misalnya telefon yang bisa menghubungkan antarasatu orang dengan
orang lain di benua yang berbeda, radio, televisi, internet yang bisa membawa
kabar berita pada waktu yang bersamaan sampai pesawat terbang yang bisa menerbangkan
manusia hingga ke luar angkasa dan lain sebagainya.
Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi tentu saja membawa dampak baik yang positif maupun
negatif. Kemajuan itu juga tentunya seakan memberi definisi lain hubungan
antara ilmu pengetahuan dengan agama, budaya dan peradaban. Agama sebagai wahyu
yang berasal dari Tuhan pada hakekatnya adalah sumber dari kebenaran dan ilmu
pengetahuan tidak mungkin salah. Budaya dan peradaban yang merupakan hasil akal
budi manusia tentunya bersifat relatif dan harus terus menerus di update
sesuai dengan perkembangan zaman.
Benturan antara ilmu
pengetahuan dengan agama, budaya dan peradaban tentunya tidak terelakkan di
masa kini. Di satu sisi kemajuan ilmu pengetahuan menuntun ke arah kebenaran
relatif, di sisi lain agama yang menjadi tuntunan kebenaran hakiki ternyata
dalam perjalanannya banyak yang menjadi bias karena ulah tangan-tangan manusia
yang mempunyai banyak keinginan dan nafsu keserakahan. Sementara itu manusia
mengembangkan pola-pola budaya dan peradaban yang merupakan hasil dari
interaksi dengan sesama sesuai dengan kondisi alam setempat dan di bumbui
dengan keserakahan yang hendak dicapainya.
Dari segi
ontologis, kalau kita membicarakan ilmu tentunya adalah tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai. Ada
dimensi ruang dan waktu yang terjangkau oleh pengalaman indrawi. Ilmu yang
demikian akan melahirkan fenomena yang dapat diobservasi, dan diukur, sehingga
datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi untuk dapat ditarik suatu kesimpulan.
Di sisi lain
manusia juga melahirkan seni yang merupakan produk budaya dan peradaban.
Memang, secara awam manusia menyebut seni hanyalah suatu keindahan. Sebagai
suatu produk manusia seni mengandung nilai keindahan bukan pengertian yang
keliru, walaupun tidak sepenuhnya benar. Memang jika ditelusuri arti seni melalui
sejarahnya, baik di Eropa yang di anggap menjadi ikon peradaban masa lalu sejak
Yunani kuno, hingga ke masa kini, nilai keindahan menjadi satu kriteria yang
utama.
Keindahan
itu sendiri pada hakikatnya adalah merupakan suatu produk budaya dan peradaban.
Definisi keindahan itu sendiri ternyata sejujurnya bukan merupakan suatu yang
universal. Definisi indah adalah sesuatu yang relatif. Apa yang dianggap indah
menurut satu atau sekolompok orang belum tentu adalah sesuatu yang indah bagi
satu atau kelompok orang lainnya. Seni musik yang dianggap suatu keindahan bagi
seorang atau kelompok orang ternyata adalah merupakan sesuatu yang tidak
disukai bagi satu orang atau kelompok lainnya. Demikian juga halnya dengan seni
rajah tubuh (tatoo), seni patung, seni-seni kotemporer lainnya pada hakikatnya
adalah sama dan sebangun.
Di dunia ini
penyebaran pengetahuan budaya dan peradaban tidak terlepas dari peran-peran
musyafir atau pengelana baik yang bermotif ekonomi, politik maupun lainnya
sehingga terkenal dengan istilah 3G (gold, gospel dan glory)
yang merupakan semboyan bangsa-bangsa Eropa dalam mengelilingi dan menakhlukkan
dunia sehingga terjadi penjajahan dan akulturasi budaya antara penduduk lokal
dengan pendatang. Pengelanaan ini juga jika disikapi positif juga merupakan era
baru pencerahan bangsa Eropa dalam melepas keterbelengguan dogma-dogma agama
yang sarat dengan kepentingan penguasa menuju pengetahuan moderen yang tentunya
berasal dari Allah SWT.
لاالشّمس
ينبغي لها ان تدرك القمر ولااّليل سا بق النّهاروكلّ في فلك يّسبحون[1]
Tidak
mungkin matahari menyusul bulan dan tiada malam mendahului siang. Semua beredar
pada falaknya (tempat beredarnya masing-masing) (QS. Yaasiin:40).
Di sisi lain
akulturasi budaya pendatang dengan budaya lokal juga membawa dampak peradaban.
Warga pendatang merasa lebih “beradab”, sementara warga lokal dianggap “kurang
beradab” sehingga membawa implikasi dalam sistem kenegaraan bahwa pendatang
yang merupakan bangsa Eropa memaksakan kehendaknya berupa sistem sosial,
politik dan ekonomi sesuai dengan kehendaknya yang di anggap lebih “beradab”.
Inilah yang terjadi saat ini saat suatu kekuatan politik atau ekonomi melakukan
penyerangan atau teror halus terhadap prinsip-prinsip dan unsur-unsur
kebudayaan umat lain.[2]
Pengetahuan
yang ada belum menjamin adanya kemampuan untuk dapat digunakan bagi tujuan praktis,
karena antara cita-cita dan realita, antara harapan dan kenyataan terdapat sisi antara (interface) yang
harus diteliti secara tuntas. Pengetahuan yang diperoleh lebih lanjut dan
penelitian yang dilakukan akan membawa konsekuensi dalam penerapan praktis apabila
dikendalikan secara ketat. Dengan demikian, akan diperoleh suatu pemahaman
tentang prinsip dan konsep dasar yang melandasi pandangan teoritis tentang
kebudayaan dan tentunya sesuai dengan kaidah moral seperti di ajarkan oleh
agama yang benar-benar bersumber dari wahyu Allah SWT.
B. HAKIKAT ILMU
Dalam kehidupan
sehari-hari kita sering mendengar kata ilmu dan pengetahuan. Kedua kata
tersebut biasa diucapkan secara sendiri sendiri yakni ilmu dan pengetahuan atau
digabung menjadi ilmu pengetahuan. Secara bahasa, ilmu (knowledge) berarti
kepandaian tertentu atau pengetahuan tentang suatu bidang. Prof. Dr. Sutardjo
A. Wiramihardja, Psi menyatakan bahwa secara bahasa ilmu pengetahuan dan
pengetahuan tidak ada perbedaan secara prinsip karena ilmu pengetahuan hanya
memberikan tekanan pada ilmu, ialah dalam sisi sistematika, reliabilitas dan
validitas.[3]
Dalam Islam, ilmu
adalah merupakan hal yang sangat penting, bahkan ayat yang pertama kali turun
dalam kitab suci Al-Qur’an adalah Surat Al Isra’ yang berbunyiاقرأ[4]
yang artinya baca suatu hal mendasar
dalam menuntut ilmu dan isyarat (alamat) datangnya hari kiamat adalah
terangkatnya ilmu.
1709. Anas r.a.
berkata: Nabi saw. Bersabda: Sungguh di antara syarat (alamat) tibanya hari
kiamat ialah: Terangkatnya ilmu, dan dipertahankan kebodohan, dan tersebar luas
minuman khamar dan pelacuran. (Bukhari Muslim).[5]
Ilmu menurut Jujun S.
Suriasumantri sebenarnya ilmu adalah merupakan suatu cara berpikir dalam
menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat di andalkan.
Berpikir bukan satu-satunya cara dalam mendapatkan pengetahuan, demikian juga
ilmu bukan satu-satunya dari kegiatan berpikir. Ilmu merupakan produk dari
proses berpikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum dapat dsebut
sebagai berpikir ilmiah.[6]
Menurut Soerjono
Soekanto, secara pendek dapatlah dikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah
pengetahuan (knowlede) yang tersusun sistematis dengan menggunakan
kekuatan pemikiran, yang selalu dapat diperiksa dan ditelaah (dikontrol) dengan
kritis oleh setiap orang lain yang ingin mengetahuinya.[7]
The Liang Gie
seperti dikutip oleh Prof. Konrad Kebung,Ph.D mengungkapkan lima ciri ilmu
pengetahuan yaitu:[8]
·
Empiris: pengetahuan ini diperoleh berdasarkan
pengalaman, pengamatan dan percobaan atau eksprimen.
·
Sistematis: berbagai informasi dan data yang
dihimpun sebagai pengetahuan itu memiliki hubungan ketergantungan dan teratur.
·
Obyektif: ilmu harus bebas dari prasangka orang
perorangan dan interes pribadi.
·
Analitis: pengetahuan ilmiah selalu berusaha
membeda-bedakan secara jelas dalam bagian-bagian rinci permasalahan, dengan
maksud agar kita bisa melihat pelbagai sifat, relasi dan peranan dari
bagian-bagian itu.
·
Verifikatif: pengetahuan ilmiah dapat diperiksa
kebenarannya.
Selain dari itu A.G.M. van Melsen, dalam
Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita (terj. Kees Bertens,1995) mengemukakan
delapan ciri dari suatu ilmu antara lain:
·
Secara metodis ilmu pengetahuan harus mencapai
suatu pemahaman atau keseluruhan yang koheren. Itu mengandaikan adanya suatu
sistem kerja (metode) dan juga adanya susunan logis.
·
Ilmu harus hadir tanpa pamrih karena ini
berkaitan erat dengan tanggung jawab ilmuwan.
·
Ilmu pengetahuan bersifat universal
(universalitas).
·
Obyektifitas: Setiap ilmu dibimbing oleh obyek
dan bukan didasarkan pada anggapan atau prasangka-prasangka subyektif.
·
Ilmu harus dapat di verifikasi oleh semua
peneliti ilmiah dalam kaitan dengan ilmu bersangkutan dan oleh karena itu ilmu
itu bersifat intersubyektif dan dapat dikomunikasikan.
·
Sikap maju (progresivitas) suatu jawaban ilmiah
haruslah selalu mengundang jawaban dan penemuan-penemuan baru dan bisa
menimbulkan banyak permasalahan baru. Dengan demikian ilmu itu betul dinamis
dan selalu berubah.
·
Kritis yang berarti setiap teori selalu terbuka
kemungkinan untuk dikritik berdasarkan penemuan-penemuan baru.
·
Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai
perwujudan hubungan timbal balik antara teori dengan praktek.
Dari uraian hakikat
ilmu di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwasanya ilmu dan pengetahuan
adalah suatu cara berpikir yang diperoleh secara empiris (pengalaman, pengamatan dan percobaan)
tersusun secara sistematis, bersifat obyektif dan progresif (mengundang jawaban
dan penemuan baru) serta terbuka kemungkinan untuk di kritik orang lain dan
bersifat universal tidak terbatas ruang dan waktu yang berlaku kapan saja serta
dimana saja.
Manusia wajib
hukumnya menuntut ilmu karena ilmu pengetahuan agar manusia lebih memahami dan
mendalami segala segi kehidupan. Manusia yang ditakdirkan Allah menjadi
pemimpin (khalifah) di muka bumi berdasarkan ilmu dan pengetahuan yang dimiliki
harus mampu meramalkan (prediction) kecenderungan-kecenderungan serta
kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang. Tidak dapat dapat dipungkiri,
peradaban manusia sangat tergantung kepada ilmu dan pengetahuan. Berkat
kemajuan ilmu pengetahuan maka pemenuhan kebutuhan manusia dapat dipenuhi
secara lebih cepat dan mudah.
C. HAKIKAT SENI
Dalam dunia modern
saat ini, seni seakan mendapat tempat yang sangat istimewa dalam kehidupan
sehari-hari. Bahkan hampir di semua bidang kehidupan seni menjadi salah satu
bagian bahkan pelengkap kehidupan itu sendiri. Seni itu sendiri dapat dinikmati
melalui pandangan (visual art), melalui pendengaran (audio art)
maupun keduanya, yakni pandangan dan pendengaran (audio visual art).
Seni dan estetika
adalah suatu kata yang tidak terpisahkan. Suatu karya yang bernilai seni
tentunya juga bernilai estetika dan suatu karya yang estetik tentunya juga
bernilai seni karena estetika itu adalah wawasan keindahan dan keindahan itu
terkait dengan cita rasa.[9]
Seorang antropolog
yang bernama C. Kluckhohn dalam karyanya yang berjudul Universal Categories
of Culture memasukkan kesenian sebagai salah satu dari tujuh unsur
kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universal, yaitu:[10]
1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia.
2. Mata pencaharian hidup dan sistem
ekonomi.
3. Sistem kemasyarakatan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem pengetahuan
7. Religi (sistem kepercayaan)
Berkaitan dengan penjelasan C. Kluckhohn di atas,
oleh Surajiyo (2008) dalam Mukhtar Latief memaparkan bahwa secara praktis, seni
sebagai suatu kebudayaan yang diciptakan manusia dapat dibedakan atas:[11]
1. Seni sastra,
seni dengan alat bahasa.
2. Seni musik,
seni dengan alat bunyi atau suara.
3. Seni tari,
seni dengan alat gerakan.
4. Seni rupa,
seni dengan alat garis, bentuk, warna, dan lain sebagainya.
5. Seni drama
atau teater, seni dengan alat kombinasi sastra, musik, tan atau gerak, dan
rupa.
Berbicara
seni tentu saja tidak terlepas dari estetika atau keindahan karena manusia pada
dasarnya menyukai keindahan baik berupa keindahan alam maupun keindahan seni.
Keindahan alam adalah keharmonian hukum-hukum alam yang menakjubkan yang
dibukakan bagi mereka yang mampu menerimanya. Sedangkan keindahan seni adalah
keindahan buatan atau hasil cipta manusia yang mempunyai bakat untuk menciptakan
karya seni (seniman).
Keindahan
yang merupakan manifestasi seni akan menimbulkan rasa senang atau keindahan itu
merangsang timbulnya rasa senang tanpa pamrih pada subyek yang melihatnya dan
bertumpu pada ciri-ciri yang terdapat pada obyek yang sesuai dengan rasa senang
itu. Lebih luas lagi keindahan itu bukan hanya perpaduan pengamatan panca indra
semata tetapi lebih dari itu juga merupakan perpaduan dengan pengamatan
batiniah. Artinya keindahan itu merupakan gabungan dari pengamatan indrawi juga
spiritual.
Dari
pembahasan di atas dapat dipahami bahwa seni adalah sesuatu yang universal,
berlaku di semua kebudayaan manusia, bersifat abstrak yang memiliki nilai
estetika atau keindahan, baik yang datang dan dalam diri manusia sebagai produk
pemikiran secara logis, rasional, maupun empiris serta kreasi hati manusia yang
bersih dan baik sehingga keindahan ilmu pengetahuan dapat dinikmati secara
serasi, selaras, dan seimbang bagi kemaslahatan hidup manusia.
D. HAKIKAT AGAMA
Secara bahasa, kata
agama adalah berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari kata a yang
berarti tidak dan gama yang berarti kacau. Artinya, orang yang memeluk
suatu agama diharapkan tidak kacau, tidak membuat kacau atau tidak berbuat
kacau karena secara filosofi agama
sangat erat hubungannya dengan moral.
Abdulkadir Muhammad
(2006) dalam Soekrisno Agoes memberikan dua rumusan agama yaitu:[12] (a)
menyangkut hubungan antara manusia dengan suatu kekuasaan luar yang lain dan
lebih daripada apa yang dialami oleh manusia , dan (b) apa yang disyariatkan
Allah dengan perantara para nabi-Nya, berupa perintah dan larangan serta
petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat.
Pengertian agama
dalam artikel ini berarti harus mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:[13]
1. Ada kitab suci.
2. Kitab suci yang ditulis oleh Nabi
berdasar wahyu langsung dari Tuhan.
3. Ada suatu lembaga yang membina, menuntun
umat manusia, dan menafsirkan kitab suci bagi kepentingan umatnya.
Setiap agama
tentunya mempunyai ajaran moral yang menjadi pegangan dari para penganutnya.
Ajaran moral yang di ajarkan oleh berbagai agama pada dasarnya terdapat
perbedaan, tetapi secara menyeluruh perbedaannya tidak terlalu besar. Masalah
moral hubungan seks di luar perkawinan, pencurian, pembunuhan, dusta atau
bohong misalnya adalah aturan yang dapat diterima oleh semua agama. Sedangkan
aturan intern tiap agama tentunya ada perbedaan seperti yang menyangkut masalah
ibadah dan cara beribadah dan itulah yang membedakan antara satu agama dengan
agama yang lain.
Selain ajaran moral,
susila dan etika semua agama tentu mengajarkan doktrin, dogma dan filsafat
ketuhanan yang menjadi pedoman perilaku penganutnya dalam kehidupan. Setiap
agama juga mengajarkan ritual acara atau tata cara beribadah yang menetapkan
bagaimana seharusnya manusia berhubungan dengan Tuhan. Semua itu mempunyai
tujuan kebaikan dunia dan akhirat.
E. HAKIKAT BUDAYA
Kata kebudayaan
berasal dari bahasa Sansekerta budhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi
yang berarti budi atau akal. Dari asal kata tersebut, kebudayaan dapat di
artikan hal-hal bersangkut paut dengan akal atau budi.
Definisi budaya (culture)
pertama kali dipopulerkan oleh E.B. Taylor pada tahun 1871 dalam bukunya Primitive
Culture[14]
di mana kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang
diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Prof.
Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Antropologi Sosial Budaya (1986)
menyatakan bahwa dirinya sependapat dengan ahli sosiologi Talcot Parsons yang
bersama ahli antropologi A.L. Kroeber yang menyatakan bahwa ada tiga gejala
kebudayaan, yaitu:
1. Sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya;
2. Sebagai suatu komplek kegiatan serta
tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat;
3. Sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud budaya yang
pertama-tama adalah wujud yang ideal, bersifat abstrak tidak dapat diraba atau
di foto. Lokasinya ada di kepala; atau dengan perkataan lain: dalam alam
pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan itu hidup.[15] Sekarang
kebudayaan ideal juga banyak tersimpan dalam bentuk digital seperti dalam disk
dan kartu-kartu memori.
Ide-ide dan
gagasan-gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam satu masyarakat. Ide
dan gagasan itu saling berkait menjadikan suatu sistem yang oleh ahli
antropologi dan sosiologi menyebutnya dengan sistem budaya (cultural system).
Wujud ideal dari sistem budaya itu biasa
juga disebut adat atau adat istiadat dalam bentuk jamak.
Wujud kedua dari
kebudayaan disebut dengan sistem sosial yang menyangkut tindakan berpola dari
manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari kegiatan-kegiatan manusia
yang saling berinteraksi menurut pola-pola tertentu sesuai dengan adat istiadat
dan tata kelakuan tertentu. Rangkaian kegiatan manusia dalam masyarakat ini
dapat bersifat konkrit dan terjadi di sekeliling kita tiap hari sehingga dapat
di observasi serta di dokumentasikan.
Wujud ketiga dari
kebudayaan adalah kebudayaan fisik yang tidak terlalu banyak memerlukan
penjelasan. Merupakan hasil fisik dari kegiatan manusia dalam masyarakat
bersifat konkret berupa benda-benda yang bisa dilihat, dirasa, diraba, di
dokumentasikan. Contoh dari wujud kebudayaan ini adalah arsitektur suatu
bangunan, alat-peralatan, benda-benda seni dan lain sebagainya.
Selain dari definisi
dan wujud dari kebudayaan di atas, C. Kluckhohn mengemukakan tujuh unsur dalam
kebudayaan universal:[16]
1. Sistem religi dan upacara keagamaan
merupakan produk manusia sebagai homo religius.
2. Sistem organisasi kemasyarakatan
merupakan produk manusia sebagai homo socius.
3. Sistem pengetahuan merupakan produk
manusia sebagai homo sapiens.
4. Sistem mata pencaharian hidup merupakan
produk manusia sebagai homo economicus.
5. Sistem teknologi dan peralatan merupakan
produk manusia sebagai homo faber.
6. Bahasa merupakan produk manusia sebagai homo
loquens.
7. Kesenian merupakan hasil produk manusia
sebagai homo esteticus.
Dari
berbagai definisi tersebut di atas, dapat diperoleh pengertian mengenai
kebudayaan. Bahwasanya budaya adalah merupakan ide atau gagasan yang terdapat
dalam pikiran manusia yang merupakan manifestasi dalam kehidupan sehari-hari
itu bersifat abstrak. Adapun perwujudan kebudayaan yaitu benda-benda yang
diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan
benda-benda yang bersifat nyata, seperti pola perilaku, bahasa, peralatan
hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya
ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
F. HAKIKAT PERADABAN
Peradaban berasal dan kata adab, yang artinya kesopanan, kehormatan, budi
bahasa, etika, dan lain-lain. Lawan dan beradab yaitu biadab, tak tahu adab dan
sopan santun. Konsep peradaban
yang dalam bahasa Inggris disebut civilization dipakai untuk mengacu
bagian-bagian dan unsur-unsur kebudayaan yang halus dan indah, seperti
kesusasteraan tertulis, teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan bermutu
tinggi, pertanian dengan sistem irigasi, organisasi negara, adat sopan santun,
dan sistem komunikasi yang luas dalam suatu masyarakat yang kompleks.[17]
Masyarakat telah mencapai
tahap kebudayaan tertentu dan telah maju berarti masyarakat tersebut telah
mencapai tingkat peradaban tinggi yang bercirikan penguasaan ilmu, teknologi,
seni dan lain-lain.
Jadi, peradaban yaitu semua bidang kehidupan untuk kegunaan praktis. Sebaliknya,
kebudayaan yaitu semua yang berasal dan hasrat dan gairah yang lebih tinggi dan
murni yang berada di atas tujuan praktis dalam hubungan masyarakat, misalnya
musik, seni, agama, ilmu, dan filsafat. Jadi, lapisan atas yaitu kebudayaan,
sedang lapisan bawah yaitu peradaban.[18]
Pada
dasarnya peradaban berkaitan erat dengan kebudayaan karena kebudayaan adalah
merupakan hasil cipta karsa dan rasa manusia. Pada saat perkembangan kebudayaan
mencapai puncaknya terwujud maka unsur-unsur budaya yang bersifat indah,
tinggi, halus, sopan santun, luhur, dan sebagainya, maka masyarakat pemilik
kebudayaan itu dikatakan telah memiliki peradaban yang tinggi. Maka istilah
peradaban sering dipakai untuk hasil kebudayaan seperti kesenian, ilmu
pengetahuan, teknologi, adat sopan santun serta tata krama pergaulan. Selain
itu juga kepandaian menulis, organisasi bernegara serta masyarakat kota yang
maju dan kompleks juga bisa dikatakan sebagai indikator kemajuan peradaban
suatu negara.
G. INTERKONEKSI ANTARA ILMU, SENI DAN AGAMA
DALAM PERSPEKTIF BUDAYA DAN PERADABAN
1. Perspektif llmu dalam Khazanah Budaya dan Peradaban
Tanpa disadari ilmu dan teknologi dalam beberapa
dekade belakangan ini berkembang sedemikian pesatnya. Ilmu pengetahuan dan
teknologi saat ini seakan-akan sudah menguasai seluruh gerak dan tingkah hidup
manusia. Jika sejenak kita menoleh ke sekeliling kita, ternyata hampir semua
kalangan mulai dari bayi baru lahir hingga kakek nenek yang sudah uzur tidak
terlepas dari jeratan teknologi. Di salah-satu sudut jalan saat ini kita sudah
merasa tidak aneh melihat seorang anak muda yang seolah berbicara sendiri
padahal mungkin sedang berkomunikasi dengan peralatan komunikasi nirkabel
dengan rekannya yang entah ada di mana. Di sudut ruangan lain dalam sebuah
berita di media massa seorang narapidana yang sejatinya sedang menjalani
rehabilitasi mental akibat kesalahan yang telah diperbuatnya di masa lalu
ternyata ketahuan dengan leluasanya mengendalikan jaringan bisnis haramnya dari
balik jeruji besi.
Kedua contoh sederhana di atas menunjukkan bahwasanya
ilmu pengetahuan dan teknologi telah begitu dalam menguasai khazanah budaya dan
peradaban umat manusia saat ini. Ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata sudah
merubah secara radikal wajah kehidupan yang serba praktis dan konkret.
Penemuan-penemuan yang bersifat amat empiris dan hanya
pada level penelitian, saat ini telah di ubah menjadi mempunyai nilai guna
praktis. Ilmu yang mulanya bersifat rasional-empiris saat ini telah berubah
menjadi rasional-eksprimental.
Di sisi lain, perkembangan ilmu dan teknologi ternyata
mempunyai dua sisi koin mata uang. Di satu sisi ilmu dan teknologi menjadikan
hidup lebih baik, tetapi di sisi yang lain kemajuan ilmu dan teknologi ternyata
digunakan untuk hal-hal yang negatif dan merusak.
Dalam khazanah budaya dan peradaban, kemajuan ilmu dan
teknologi akan membawa kemaslahatan umat manusia dengan terjadinya akulturasi
budaya sehingga budaya yang baik di suatu daerah akan diserap di daerah lain
dengan mereduksi budaya-budaya yang tidak sesuai. Sebaliknya di sisisi lain
dari segi keburukan ternyata nilai-nilai moral yang tidak sesuai ternyata juga
sama berkembang dengan pesatnya.
Mencermati perkembangan tersebut di atas, maka
pendidikan adalah merupakan gerbang utama untuk membangun filter generasi
mendatang dari hal-hal yang merusak akibat kemajuan ilmu dan teknologi. Orang
tua, pendidik dan pemangku kepentingan hendaknya berusaha semaksimal mungkin
untuk menetapkan nilai-nilai budaya apa saja yang harus dikembangkan oleh
generasi mendatang.
2. Perspektif Seni dalam Khazanah Budaya dan Peradaban
Tidak dapat dipungkiri bahwasanya seni adalah merupakan produk dari budaya.
Kebudayayaan atau budaya itu sendiri adalah menyangkut aspek-aspek kehidupan
manusia baik secara materi maupun non materi.
Kebudayaan material antara lain hasil cipta, karsa yang berwujud benda,
barang alat pengolahan alam seperti bangunan gedung, jalan, jembatan dan
lain-lain, sedangkan kebudayaan non material berupa hasil cipta, karsa yang
berwujud kebiasaan, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan lain-lain seperti
misalnya norma, moral, mode dan sebagainya.
3. Perspektif Agama dalam Khazanah Budaya dan Peradaban
Seringkali
produk budaya di suatu daerah di anggap sebagai agama oleh suatu komunitas atau
wilayah. Budaya tersebut dimanifestasikan
dalam kehidupan ritual keagamaan dan budaya sehari-hari oleh penganutnya,
sehingga menghasilkan akulturasi antara agama dan budaya yang khas daerah atau
wilayah tertentu. Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa perpaduan antara
budaya dan agama telah menjadi tradisi dalam kehidupan sehari hari. Seni wayang
sebagai contohnya adalah produk budaya hasil adopsi dari agama hindu yang
digunakan masyarakat Jawa untuk mengisahkan kisah-kisah dari agama hindu.
Tetapi, dengan masuknya agama Islam media wayang tersebut digunakan sebagai
sarana dakwah oleh umat Islam dan terjadilah pola budaya khas hasil akulturasi
budaya hindu lokal dan Islam di Jawa.
Kalau kita
lihat ke belakang, agama di bumi ini sebenarnya terdiri dari dua sumber, yakni
agama wahyu dan agama budaya. Agama wahyu adalah agama yang bersumber pada
wahyu dari langit atau biasa di sebut agama langit, agama profetis, atau revealed
relegion. Termasuk agama wahyu
adalah Islam, Kristen, Yahudi. Adapun agama budaya biasa juga disebut sebagai
agama Bumi, agama filsafat, agama akal, non-revealed religion, atau natural
relegion. Yang termasuk agama budaya dapat disebutkan di sini misalnya adalah
agama Hindu, Budha, Kong Hu Chu, dan Shinto, juga termasuk banyak aliran-aliran
kepercayaan.
Yang menjadi
pertanyaan apakah hal ini diperbolehkan dan apakah hal ini justru tidak merusak
suatu tatanan? Pertanyaan akan hal tersebut jika kita cermati adalah tergantung
dari segi dimana kita menjawabnya. Kaidah yang bisa dipakai adalah selama tidak
menyangkut substansi dasar suatu agama maka hal tersebut adalah boleh-boleh
saja karena agama juga menyukai keindahan yang termanifestasi dalam
ritual-ritual yang tidak menyentuh serta bertentangan dengan inti utama ajaran
agama.
Sejarah
membuktikan bahwa akulturasi yang cantik dan damai di suatu daerah telah
berhasil memperkaya budaya dan peradaban di suatu daerah. Memang tidak bisa
dipungkiri bahwasanya bias dalam ajaran-ajaran agama akan terjadi karena ada
perbedaan mendasar diantara agama-agama yang ada baik itu agama langit dengan
agama langit, agama bumi dengan agama bumi maupun agama langit dengan agama
bumi.
Bias yang
terjadi pada suatu agama seiring dengan berjalannya waktu ternyata bisa di
selesaikan dengan baik oleh para pemeluknya dengan jalan konsolidasi maupun
pendidikan yang menyadarkan inti dari ajaran agama itu sendiri.
Di
Indonesia, banyak contoh-contoh ritual budaya yang secara substansi menyimpang
dalam inti ajaran agama Islam tetapi seiring dengan maraknya pendidikan dan
pengajaran sekarang sudah mulai timbul kesadaran untuk memurnikan agama Islam
itu sendiri tanpa mengesampingkan serta membuang ajaran-ajaran budaya serta
peradaban yang indah.
H. INTEGRASI ANTARA ILMU PENGETAHUAN DENGAN SENI,
AGAMA
Dalam kehidupan di
dunia ini tidak ada satu orang yang sangat mutlak kecerdasannya sehingga dia
bisa menguasai ilmu apa saja. Manusia pada dasarnya diciptakan oleh Allah dalam
kondisi serba terbatas. Karena keterbatasan inilah manusia harus mencari ilmu
dengan jalan belajar. Belajar tidak kenal waktu, usia, keadaan, situasi dan
kondisi. Output dari hasil belajar itulah yang disebut dengan ilmu.
Ilmu merupakan bagian dan pengetahuan, dan pengetahuan merupakan unsur
kebudayaan. Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan
saling memengaruhi. Di satu pihak pengembangan ilmu dalam suatu masyarakat
tergantung dan kebudayaan. Ilmu dan kebudayaan itu terpadu secara intim dengan
seluruh struktur sosial dan tradisi kebudayaan.
Dalam Islam pada
dasarnya semua ilmu itu berkedudukan sama, yakni sama-sama berasal dari Allah
SWT dan tidak ada dikotomi ilmu agama dengan ilmu umum seperti yang jamak
sering kita dengar di masyarakat. Dalam penerapan sehari-hari ilmu dapat dibagi
menjadi tiga, yakni:
1. Ilmu yang berguna untuk kehidupan dunia.
2. Ilmu yang berguna untuk kehidupan
akhirat.
3. Ilmu yang berguna untuk kehidupan dunia
dan akhirat.
Ilmu sebenarnya adalah sebuah senjata. Sebagaimana layaknya senjata
mempunyai dua fungsi yang berbeda dalam penggunaannya. Apabila senjata dipegang
orang yang tepat dan amanah senjata tersebut akan sangat berguna dalam menjaga
keamanan dan menegakkan perdamaian, sebaliknya apabila senjata dipegang oleh
penjahat maka senjata itu akan membuat keonaran dan kerusakan. Oleh sebab itu
senjata harus dan mutlak dimiliki oleh orang yang bermoral. Orang yang bermoral
adalah orang yang beragama karena agama memiliki hubungan erat dengan moral
karena. Agama mengandung ajaran moral yang menjadi pegangan kepada pengikutnya
dan memberi rambu-rambu akan apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang.
Jika dikaitkan dengan seni, bahwasanya seni itu sendiri adalah produk
sosial. Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, seni adalah keahlian
membuat karya bermutu, artinya integrasi antara ilmu pengetahuan, seni dan
agama akan menjadikan harmoni kehidupan lebih baik. Bukankah ilmu membuat hidup
lebih mudah, seni membuat hidup menjadi indah dan agama membuat hidup lebih
terarah.
I. PENUTUP
Dari uraian panjang
lebar di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwasanya terdapat benang merah
atau keterkaitan antara ilmu pengetahuan, budaya, peradaban, seni dan agama.
Bahwasanya ilmu dan
pengetahuan adalah suatu cara berpikir yang diperoleh secara empiris (pengalaman, pengamatan dan percobaan)
tersusun secara sistematis, bersifat obyektif dan progresif (mengundang jawaban
dan penemuan baru) serta terbuka kemungkinan untuk di kritik orang lain dan
bersifat universal tidak terbatas ruang dan waktu yang berlaku kapan saja serta
dimana saja. Manusia wajib hukumnya menuntut ilmu karena ilmu pengetahuan agar
manusia lebih memahami dan mendalami segala segi kehidupan. Manusia yang
ditakdirkan Allah menjadi pemimpin (khalifah) di muka bumi berdasarkan ilmu dan
pengetahuan yang dimiliki harus mampu meramalkan (prediction)
kecenderungan-kecenderungan serta kemungkinan yang akan terjadi di masa
mendatang.
Bahwasanya budaya adalah merupakan ide atau gagasan yang terdapat dalam
pikiran manusia yang merupakan manifestasi dalam kehidupan sehari-hari itu
bersifat abstrak sedangkan peradaban pada dasarnya berkaitan erat dengan
kebudayaan karena kebudayaan adalah merupakan hasil cipta karsa dan rasa
manusia. Pada saat perkembangan kebudayaan mencapai puncaknya terwujud maka
unsur-unsur budaya yang bersifat indah, tinggi, halus, sopan santun, luhur, dan
sebagainya, maka masyarakat pemilik kebudayaan itu dikatakan telah memiliki
peradaban yang tinggi.
IImu pengetahuan,
budaya, peradaban dan seni harus di dalam bingkai agama karena setiap agama
mempunyai ajaran moral yang menjadi pegangan dari para penganutnya sehingga
ilmu pengetahuan, budaya, peradaban dan seni akan terus berkembang tanpa
melanggar norma-norma moral.
[1] QS.
Yaasiin:40
[2] Imam Ali
Khamenei, Perang Kebudayaan, (Jakarta: Penerbit Cahaya 2005) hal:15
[3] Sutardjo
A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Aditama:2009) hal.128
[4] QS.
Al-Isra:1
[5] Muhammad
Fu’ad Abdul Baqi, Mutiara Hadits Shahih Bukhari Muslim, (Jakarta:
Penerbit Bina Ilmu 2005), hal. 952
[6] Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan 2013), hal.273
[7] Soerjono
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajagrafindo Persada
2010).hal:5
[8] Konrad
Kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Prestasi Pustaka 2011), hal.69
[9] Suwardi,
Ilmu Jiwa Jawa, (Jakarta:Penerbit Narasi,2013) hal.1
[10]
Soerjono Soekanto Ibid hal.154
[11] Mukhtar
Latief, Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu, (Jakarta:Prenada Media Grup),Hal.308.
[12]
Soekrisno Agoes, Etika Bisnis dan Profesi, (Jakarta: Salemba Empat:2011)
hal:25
[13]
Soekrisno Agoes, Ibid hal:25
[14] E.B.
Taylor, Primitive Culture, (London: Jhon Murray:1871), hal.328
[15] Koentjaraningrat,
Pengantar Antropologi Sosial Budaya, (Jakarta:UT 1986), Hal 3.2
[16] Prof.
Konrad Kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Prestasi Pustaka)
hal.258-259
[17] Prof.
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Sosial Budaya, (Jakarta:UT 1986)
hal 3.2
[18] Prof.
Mukhtar Latif, Ibid
Komentar
Posting Komentar