Fenomenologi
A. Pendahuluan
Melakukan penelitian ilmu-ilmu
sosial dengan metode kualitatif merupakan pengalaman yang unik dan menarik.
Unik karena peneliti harus terjun langsung ke masyarakat yang ditelitinya dan
menarik karena harus berinteraksi secara langsung dengan masyarakat dengan
segala suka dukanya. Ada beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian
kualitatif, yaitu penelitian atau inkuiri naturalistik atau alamiah, etnografi,
interaksionis simbolik, perspektif kedalam, etnometodologi, the Chicago
School, fenomenologis, studi kasus, interpretatif, ekologis dan deskriptif.[1]
Penelitian kualitatif adalah
penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan
analisis. Proses dan makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan dalam
penelitian kualitatif. Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus
penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. Selain itu landasan teori juga
bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai
bahan pembahasan hasil penelitian.
Penelitian kualitatif jauh
lebih subyektif daripada penelitian atau survei kuantitatif dan menggunakan
metode sangat berbeda dari mengumpulkan informasi, terutama individu, dalam
menggunakan wawancara secara mendalam dan grup fokus. Sifat dari jenis
penelitian ini adalah penelitian dan penjelajahan terbuka berakhir dilakukan
dalam jumlah relatif kelompok kecil yang diwawancarai secara mendalam.
Peserta diminta untuk menjawab
pertanyaan umum, dan interviewer atau moderator group periset menjelajah dengan
tanggapan mereka untuk mengidentifikasi dan menentukan persepsi, pendapat dan
perasaan tentang gagasan atau topik yang dibahas dan untuk menentukan derajat
kesepakatan yang ada dalam grup. Kualitas hasil temuan dari penelitian
kualitatif secara langsung tergantung pada kemampuan, pengalaman dan kepekaan
dari interviewer atau moderator group.
Secara umum penelitian
kualitatif sendiri dikelompokkan menjadi 5 (lima) pendekatan besar yakni 1)
biografi; 2) fenomenologi; 3) grand theory; 4) etnografi; dan 5) studi
kasus.[2]
Dan mengingat begitu luasnya cakupan dari penelitian kualitatif, pada artikel
ini hanya akan di bahas penelitian kualitatif jenis fenomenologi.
B. Pengertian fenomenologi
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology)
berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon
berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos
berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara
umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak.
Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas,
fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak.
Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada
kesadaran kita.
Fenomenologi adalah sebuah studi
dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomonologi
dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada
fenomena ini. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich
Lambert (1728 - 1777), seorang filsuf Jerman. Dalam bukunya Neues Organon
(1764) ditulisnya tentang ilmu yang tak nyata.
Pendekatan fenomenologi merupakan
tradisi penelitian kualitatif yang berakar pada filosofi dan psikologi, dan
berfokus pada pengalaman hidup manusia (sosiologi). Pendekatan fenomenologi
hampir serupa dengan pendekatan hermeneutics yang menggunakan pengalaman hidup
sebagai alat untuk memahami secara lebih baik tentang sosial budaya, politik
atau konteks sejarah dimana pengalaman itu terjadi.
Penelitian ini akan berdiskusi
tentang suatu objek kajian dangan memahami inti pengalaman dari suatu fenomena.
Peneliti akan mengkaji secara mendalam isu sentral dari struktur utama suatu
objek kajian dan selalu bertanya "apa pengalaman utama yang akan
dijelaskan informan tentang subjek kajian penelitian".
Peneliti memulai kajiannya dengan
ide filosofikal yang menggambarkan tema utama. Translasi dilakukan dengan
memasuki wawasan persepsi informan, melihat bagaimana mereka melalui suatu
pengalaman, kehidupan dan memperlihatkan fenomena serta mencari makna dari
pengalaman informan.
Sebagai sebuah arah baru dalam
filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok
suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode
fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan
fenomenologi. Namun istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl.
Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert
(1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai
gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif
dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).
Edmund Husserl memahami fenomenologi
sebagai suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari
semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral,
estetis, konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya
difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau
Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya
menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga
konseptual dari ilmu-ilmu empiris.
Tradisi fenomenologi berkonsentrasi
pada pengalaman pribadi termasuk bagian dari individu – individu yang ada
saling memberikan pengalaman satu sama lainnya. Komunikasi di pandang sebagai
proses berbagi pengalaman atau informasi antar individu melalui dialog.
Hubungan baik antar individu mendapat kedudukan yang tinggi dalam tradisi ini.
Dalam tradisi ini mengatakan bahwa bahasa adalah mewakili suatu pemaknaan
terhadap benda. Jadi, satu kata saja sudah dapat memberikan pemaknaan pada
suatu hal yang ingin di maknai.
Pada dasarnya fenomenologi adalah
suatu tradisi pengkajian yang digunakan untuk mengeksplorasi pengalaman manusia.
Seperti yang dikemukakan oleh Littlejohn bahwa fenomenologi adalah suatu
tradisi untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Dalam konteks ini ada asumsi
bahwa manusia aktif memahami dunia disekelilingnya sebagai sebuah pengalaman
hidupnya dan aktif menginterpretasikan pengalaman tersebut. Asumsi pokok
fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya
dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena itu
interpretasi merupakan proses aktif untuk memberikan makna atas sesuatu yang
dialami manusia. Dengan kata lain pemahaman adalah suatu tindakan kreatif,
yakni tindakan menuju pemaknaan.
Manusia memiliki paradigma
tersendiri dalam memaknai sebuah realitas. Pengertian paradigma adalah suatu
cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat
dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan sesuatu
yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif,
menunjukkan kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan
pertimbangan eksistensial atau epistimologis yang panjang.
Fenomenologi menjelaskan fenomena
perilaku manusia yang dialami dalam kesadaran. Fenomenolog mencari pemahaman
seseorang dalam membangun makna dan konsep yang bersifat intersubyektif. Oleh
karena itu, penelitian fenomenologi harus berupaya untuk menjelaskan makna dan
pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala. Artinya
fenomenologi merujuk kepada semua pandangan sosial yang menempatkan kesadaran
manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial.
Berdasar asumsi ontologis,
penggunaan paradigma fenomeologi dalam memahami fenomena atau realitas
tertentu, akan menempatkan realitas sebagai konstruksi sosial kebenaran.
Realitas juga dipandang sebagai sesuatu yang sifatnya relatif, yaitu sesuai
dengan konteks spesifik yang dinilai relevan oleh para aktor sosial. Secara
epistemologi, ada interaksi antara subjek dengan realitas akan dikaji melalui
sudut pandang interpretasi subjek. Sementara itu dari sisi aksiologis, nilai,
etika, dan pilihan moral menjadi bagian integral dalam pengungkapan makna akan
interpretasi subjek.
Tradisi fenomenologi berkonsentrasi
pada pengalaman pribadi termasuk bagian dari individu – individu yang ada
saling memberikan pengalaman satu sama lainnya. Komunikasi di pandang sebagai proses
berbagi pengalaman atau informasi antar individu melalui dialog. Hubungan baik
antar individu mendapat kedudukan yang tinggi dalam tradisi ini. Dalam tradisi
ini mengatakan bahwa bahasa adalah mewakili suatu pemaknaan terhadap benda.
Jadi, satu kata saja sudah dapat memberikan pemaknaan pada suatu hal yang ingin
di maknai.
Tradisi fenomenologi menurut
Creswell[3]
adalah: “Where as biography reports the life of a single individual, a
phenomenological study describes the meaning of the live experiences for
several individuals about a concept or the phenomenom”. Dengan demikian,
studi dengan pendekatan fenomenologis berupaya untuk menjelaskan makna
pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala, termasuk di
dalamnya konsep diri atau pandangan hidup mereka sendiri.
Fenomenologi juga merupakan metode
dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang
harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi
mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana
fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Fenomenologi juga
memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan
demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu
sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri
merupkan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.
Edmund
Gustav Albrecht Husserl (1859 – 1938) yang dikenal sebagai bapak fenomenologi sangat tertarik dengan penemuan
makna dan hakikat dari pengalaman. Dia berpendapat bahwa terdapat perbedaan
antara fakta dan esensi dalam fakta, atau dengan kata lain perbedaan antara
yang real dan yang tidak. Berikut adalah komponen konseptual dalam fenomenologi
transendental Husserl:
a. Kesengajaan
(Intentionality)
Kesengajaan (intentionality)
adalah orientasi pikiran terhadap suatu objek (sesuatu) yang menurut Husserl,
objek atau sesuatu tersebut bisa nyata atau tidak nyata. Objek nyata seperti
sebongkah batu yang dibentuk dengan tujuan tertentu maka jadilah batu permata.
Objek yang tidak nyata misalnya konsep tentang tanggung jawab, kesabaran, dan
konsep lain yang abstrak atau tidak real. Husserl menyatakan bahwa kesengajaan
sangat terkait dengan kesadaran atau pengalaman seseorang dimana kesengajaan
atau pengalaman tersebut dipengaruhi oleh faktor kesenangan (minat), penilaian
awal, dan harapan terhadap objek. Misalnya minat terhadap dunia pendidikan akan
menentukan kesengajaan kuliah di bidang pendidikan.
b. Noema dan Noesis
Noema atau
noesis merupakan turunan dari kesengajaan atau intentionality atau maksud memahami sesuatu, dimana setiap
pengalaman individu memiliki sisi obyektif dan subyektif. Noema adalah sisi
obyektif dari fenomena, artinya sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan,
dipikirkan, atau sekalipun sesuatu yang masih akan dipikirkan (ide). Sedangkan sisi
subyektif noesis adalah tindakan yang dimaksud (intended act) seperti
merasa, mendengar, memikirkan, dan menilai ide.
c. Intuisi
Intuisi
yakni kemampuan membedakan “yang murni” dan yang diperhatikan dari the light
of reason alone (semata-mata alasannya). Intuisi lah yang membimbing
manusia mendapatkan pengetahuan. Bagi Husserl, intuisi yang menghubungkan noema
dan noesis. Inilah sebabnya fenomenologi Husserl dinamakan fenomenologi
transendental, karena terjadi dalam diri individu secara mental (transenden).
d. Intersubjektivitas
Bahwa makna intersubjektif ini berawal dari konsep
‘sosial’ dan konsep ‘tindakan’. Konsep sosial didefinisikan sebagai hubungan
antara dua atau lebih orang dan konsep tindakan didefinisikan sebagai perilaku
yang membentuk makna subjektif. Akan tetapi, makna subjektif tersebut bukan
berada di dunia privat individu melainkan dimaknai secara sama dan bersama
dengan individu lain. Oleh karenanya, sebuah makna subjektif dikatakan
intersubjektif karena memiliki aspek kesamaan dan kebersamaan (common and
shared).
C. Fenomenologi
sebagai metode ilmu
Fenomenologi berkembang sebagai
metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena disini
dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam
kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu
yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah
pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat
mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali.
Tugas utama fenomenologi menurut
Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl,
realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang
mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger,
yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan
manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang
sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju
kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai
“Hakikat segala sesuatu”.
Husserl mengajukan metode epoche
untuk mencapai esensi fenomenologi. Kata epoche berasal dari bahasa
Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari
keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing)
terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak,
tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil
dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi
pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan.
Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan
status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran.
Selanjutnya, menurut Husserl epoche
mempunyai empat macam, yaitu:
1.
Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka
macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari,
baik dari adapt, agama maupun ilmu pengetahuan.
2.
Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap
semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.
3.
Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari
menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
4.
Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan
fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.
D. Konsep Dasar
Peneliti dalam pandangan
fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap
orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Sosiologi fenomenologis pada
dasarnya sangat dipengaruhi oleh pandangan Edmund Husserl dan Alfred Schultz.
Pengaruh lainnya berasal dari Weber yang memberi tekanan pada verstehn, yaitu
pengertian interpretatif terhadap pemahaman manusia. Fenomoenologi tidak berasumsi
bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti
oleh mereka.
Inkuiri fenomenologis memulai dengan
diam. Diam merupakan tindakan untuk mengungkap pengertian sesuatu yang sedang
diteliti. Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis adalah aspek subjektif dari
perilaku orang. Mereka berusaha untuk masuk kedalam dunia konseptual para
subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana
suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka di sekitar peristiwa dalam
kehidupannya sehari-hari.
Para fenomenolog percaya bahwa pada
makhluk hidup tersedia pelbagai cara untuk menginterpretasikan pengalaman
melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa pengertian pengalaman kitalah
yang membentuk kenyataan.
E. Fenomenologi
dan Kebudayaan
Banyak antropolog menggunakan
pendekatan fenomenologi dalam studi mereka tentang pendidikan. Kerangka studi
antropologisnya adalah konsep kebudayaan. Usaha untuk menguraikan kebudayaan
atau aspek-aspek kebudayaan dinamakan etnografi. Walaupun diantara mereka
kurang sependapat tentang definisi kebudayaan, mereka memandang kebudayaan
sebagai kerangka teoretis dalam menjelaskan pekerjaan mereka.
Dalam kerangka kebudayaan, apapun
definisi khususnya, kebudayaan merupakan alat organisatoris atau konseptual
untuk menafsirkan data yang berarti dan yang memberi ciri pada etnografi.
Prosedur etnografi, apakah sama atau identik dengan pengamatan-berperanserta,
percaya akan adanya prbedaaan kosa-kata dan telah berkembang dalam kekhasan
akademis yang berbeda.
Sekarang ini peneliti telah
menggunakan istilah etnografi untuk menunjuk pada setiap studi kualitatif, ada
beberapa kenyataan yang menunjukkan bahwa sosiolog dan antropolog makin saling
mendekat dalam hal melakukan penelitian dan orientasi teoretis yang mendasari
pekerjaan mereka.Spradley (1980) sebagai antropolog terkenal menyatakan bahwa
konsep kebudayaan sebagai pengetahuan yang dicapai mempunyai ciri umum yang
sama dengan interaksi simbolik.
F. Jenis-Jenis
Tradisi Fenomenologi
Inti dari tradisi fenomenologi
adalah mengamati kehidupan dalam keseharian dalam suasana yang alamiah. Tradisi
memandang manusia secara aktif mengintrepretasikan pengalaman mereka sehingga
mereka dapat memahami lingkungannya melalui pengalaman personal dan langsung
dengan lingkungannya. Titik berat tradisi fenomenologi adalah Pada bagaimana
individu mempersepsi serta memberikan interpretasi pada pengalaman
subyektifnya. Adapun varian dari tradisi Fenomenologi ini adalah sebagai
berikut:
1. Fenomena
Klasik, percaya
pada kebenaran hanya bisa didapatkan melalui pengarahan pengalaman, artinya
hanya mempercayai suatu kebenaran dari sudut pandangnya tersendiri atau
obyektif.
2. Fenomenologi
Persepsi, percaya
pada suatu kebenaran bisa di dapatkan dari sudut pandang yang berbeda – beda, tidak
hanya membatasi fenomenologi pada obyektifitas, atau bisa dikatakan lebih
subyektif.
3. Fenomenologi
Hermeneutik, percaya
pada suatu kebenaran yang di tinjau baik dari aspek obyektifitas maupun
subyektifitasnya, dan juga disertai dengan analisis guna menarik suatu
kesimpulan.
G. Prinsip dasar fenomenologi
Stanley deetz (dalam
littlejohn, 1999:200) menyimpulkan tiga prinsip dasar dalam fenomenologi:
1.
Pengetahuan adalah kesadaran.
Pengetahuan tidak disimpulkan dari pengalaman tetapi ditemukan secara langsung dari
pengalaman yang disadari “conscious experience”. Contoh, untuk
mendapatkan nilai yang bagus dari dosen saya harus rajin baik masuk kuliah,
mengerjakan tugas dan tentu saja mempunyai hubungan yang baik dengan dosen
pengasuh mata kuliah. Hal ini bukan saya simpulkan secara tidak sadar dari
pengalaman-pengalaman tetapi saya temukan langsung dari pengalaman yang saya
sadari.
2.
Makna dari sesuatu tergantung dari
apa kegunaan sesuatu tersebut dalam kehidupan individu. Dengan kata lain,
bagaimana hubungan kita dengan sesuatu ditentukan oleh apa makna sesuatu
tersebut dalam kehidupan kita. Contoh, komputer jinjing (laptop) bagi seorang
anak-anak berfungsi sebagai alat permainan games, bagi seorang mahasiswa
berguna untuk mengetik tugas dan browsing internet, tetapi bagi seorang pialang
saham laptop adalah sarana untuk bermain valas dalam memperoleh penghasilan.
3.
Bahasa adalah sarana makna. Kita
mengalami dan memaknai dunia sosial kita melalui bahasa yang kita gunakan untuk
mendefinisikan dan mengekspresikan dunia sosial tersebut. Contoh, kita bisa
dengan mudah mengatakan bahwa sesuatu benda mempunyai makna tertentu dari
label-label yang melekat padanya seperti ikan itu adalah binatang yang hidup di
air walaupun tidak semua yang hidup di air itu adalah ikan. Contoh lainnya
adalah televisi misalnya adalah suatu kotak (walaupun tidak semua televisi
berbentuk kotak) yang mempunyai layar berfungsi menyiarkan gambar-gambar hidup
berupa hiburan, berita atau yang lainnya bahkan dari tempat yang jauh dan
seterusnya.
H. Bracketing
Oleh karena paradigma
interpretative percaya bahwa setiap individu melakukan interpretasi secara
aktif, dan fenomenologi percaya bahwa pengetahuan didapatkan dari “conscious
experience”, dan bagaimana individu memaknai segala sesuatu tergantung pada
arti sesuatu tersebut dalam kehidupan individu (subyektif), maka peneliti
fenomenologi tidak pernah mencari benar-salah dari pengalaman respondennya
bahkan membenarkan atau menyalahkan pernyataan respondennya, tetapi peneliti
fenomenologi berusaha mengejar bagaimana pengetahuan tersebut didapatkan respondenya
atau bagaimana pernyataan tersebut bisa dikemukakan oleh respondennya.
Contoh, misalkan anda meneliti
tentang budaya kawin siri di kalangan masyarakat. Lalu ketika anda menanyakan
pada responden anda, alasan dia melakukan kawin siri, lantas dia menjawab kalau kalau kawin siri
adalah sarana untuk melampiaskan nafsu sexual dengan tidak melanggar aturan
agama.
Sebagai peneliti fenomenologi,
anda tidak diperbolehkan untuk langsung menyalahkan responden anda, atau ketika
anda menuliskanya di penelitian anda, anda memberikan teori tentang bagaimana
pengaruh teman di dalam membentuk perilaku kawin siri dengan tujuan untuk
mendeskriditkan jawaban responden anda tadi. Tetapi sebagai peneliti
fenomenologi, yang berusaha anda kejar/ temukan adalah bagaimana responden anda
bisa memaknai kawin siri sebagaimana yang dia utarakan tadi.
Berkaitan dengan hal tersebut
dikenal istilah bracketing di dalam fenomenologi. Bracket sendiri
adalah sebuah kata kerja yang dalam bahasa Indonesia berarti mengurung. Disini
berarti, selama melakukan penelitian fenomenologi seorang peneliti harus
mengurung (bracket) pengetahuan dan kepercayaan-kepercayaan yang selama
ini dimiliki dan diyakininya dalam rangka untuk mendapatkan true essence atau
esensi murni dari fenomena yang ditelitinya. Huserl (dalam Moustakas, 1994)
menyebut bracketing dengan istilah epoche.
Jadi interview guide yang anda
buat diawal, hanya sebuah guide atau panduan awal tentang apa yang akan anda
tanyakan kepada responden anda. Interview guide tersebut tidak menjadi harga
mati pertanyaan-pertanyaan yang akan anda ajukan pada responden. Dalam setiap
wawancara mendalam yang anda lakukan pertanyaan-pertanyaan yang anda ajukan
akan berkembang seiring dengan jawaban-jawaban dari responden anda. Tetapi
harap diingat kalau interview guide yang anda buatpun tidak anda buat dengan
ngawur atau asal saja, tetapi tetap dia harus berangkat dari penelitian
pendahuluan (preliminary research)
sebelumnya yang anda lakukan dan kajian pustaka yang sudah anda tulis.
I. Penutup
Demikian penjelasan secara singkat
tentang apa itu penelitian fenomenologi. Pada dasarnya fenomenologi adalah
suatu tradisi pengkajian yang digunakan untuk mengeksplorasi pengalaman manusia.
Para fenomenolog percaya bahwa pada makhluk hidup tersedia pelbagai cara untuk
menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa
pengertian pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan.
Adapun varian dari tradisi
Fenomenologi ini adalah sebagai berikut:
1. Fenomena
Klasik, percaya
pada kebenaran hanya bisa didapatkan melalui pengarahan pengalaman, artinya
hanya mempercayai suatu kebenaran dari sudut pandangnya tersendiri atau
obyektif.
2. Fenomenologi
Persepsi, percaya
pada suatu kebenaran bisa di dapatkan dari sudut pandang yang berbeda – beda,
tidak hanya membatasi fenomenologi pada obyektifitas, atau bisa dikatakan lebih
subyektif.
3. Fenomenologi
Hermeneutik, percaya pada
suatu kebenaran yang di tinjau baik dari aspek obyektifitas maupun
subyektifitasnya, dan juga disertai dengan analisis guna menarik suatu
kesimpulan.
DAFTAR
PUSTAKA
Denzin
K. Norman dan Lincoln S. Yvonna, Handbook of Qualitative Research, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009).
Moustakas, Clark. Phenomenological
Research Methods. (California: SAGE Publications, 1994)
Littlejohn, S. W. Theories of
Human Communication 6th Edition. (Belmont, CA: Wadsworth. N/A,
1999)
Kuswara
Engkus. Tradisi Fenomenologi pada Penelitian Komunikasi Kualitatif: Sebuah
pengalaman akademis. Jurnal Mediator Vol.7 No.1 Juni 2006 Terakreditasi
Dirjen Dikti SK No.56/DIKTI/Kep/2005.
Moeloeng
Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2013)
[1]
Lexy J Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja
Rosda Karya, 2013), hal.3.
[2]
Catatan kuliah Dr. Martinis Yamin 4
Februari 2015.
[3]
Engkus Kuswarno, Tradisi Fenomenologi pada Penelitian Komunikasi Kualitatif:
Sebuah Pengalaman Akademis. Jurnal MediaTor, Vol.7 No.1 Juni 2006, hal.49.
Komentar
Posting Komentar