Langsung ke konten utama

Fenomenologi



Fenomenologi

A.    Pendahuluan
Melakukan penelitian ilmu-ilmu sosial dengan metode kualitatif merupakan pengalaman yang unik dan menarik. Unik karena peneliti harus terjun langsung ke masyarakat yang ditelitinya dan menarik karena harus berinteraksi secara langsung dengan masyarakat dengan segala suka dukanya. Ada beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu penelitian atau inkuiri naturalistik atau alamiah, etnografi, interaksionis simbolik, perspektif kedalam, etnometodologi, the Chicago School, fenomenologis, studi kasus, interpretatif, ekologis dan deskriptif.[1]
Penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Proses dan makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. Selain itu landasan teori juga bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian.
Penelitian kualitatif jauh lebih subyektif daripada penelitian atau survei kuantitatif dan menggunakan metode sangat berbeda dari mengumpulkan informasi, terutama individu, dalam menggunakan wawancara secara mendalam dan grup fokus. Sifat dari jenis penelitian ini adalah penelitian dan penjelajahan terbuka berakhir dilakukan dalam jumlah relatif kelompok kecil yang diwawancarai secara mendalam.
Peserta diminta untuk menjawab pertanyaan umum, dan interviewer atau moderator group periset menjelajah dengan tanggapan mereka untuk mengidentifikasi dan menentukan persepsi, pendapat dan perasaan tentang gagasan atau topik yang dibahas dan untuk menentukan derajat kesepakatan yang ada dalam grup. Kualitas hasil temuan dari penelitian kualitatif secara langsung tergantung pada kemampuan, pengalaman dan kepekaan dari interviewer atau moderator group.
Secara umum penelitian kualitatif sendiri dikelompokkan menjadi 5 (lima) pendekatan besar yakni 1) biografi; 2) fenomenologi; 3) grand theory; 4) etnografi; dan 5) studi kasus.[2] Dan mengingat begitu luasnya cakupan dari penelitian kualitatif, pada artikel ini hanya akan di bahas penelitian kualitatif jenis fenomenologi.



B.     Pengertian fenomenologi

Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomonologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik,  yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728 - 1777), seorang filsuf Jerman. Dalam bukunya Neues Organon (1764) ditulisnya tentang ilmu yang tak nyata.
Pendekatan fenomenologi merupakan tradisi penelitian kualitatif yang berakar pada filosofi dan psikologi, dan berfokus pada pengalaman hidup manusia (sosiologi). Pendekatan fenomenologi hampir serupa dengan pendekatan hermeneutics yang menggunakan pengalaman hidup sebagai alat untuk memahami secara lebih baik tentang sosial budaya, politik atau konteks sejarah dimana pengalaman itu terjadi.
Penelitian ini akan berdiskusi tentang suatu objek kajian dangan memahami inti pengalaman dari suatu fenomena. Peneliti akan mengkaji secara mendalam isu sentral dari struktur utama suatu objek kajian dan selalu bertanya "apa pengalaman utama yang akan dijelaskan informan tentang subjek kajian penelitian".
Peneliti memulai kajiannya dengan ide filosofikal yang menggambarkan tema utama. Translasi dilakukan dengan memasuki wawasan persepsi informan, melihat bagaimana mereka melalui suatu pengalaman, kehidupan dan memperlihatkan fenomena serta mencari makna dari pengalaman informan.
Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Namun istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl. Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).
Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.
Tradisi fenomenologi berkonsentrasi pada pengalaman pribadi termasuk bagian dari individu – individu yang ada saling memberikan pengalaman satu sama lainnya. Komunikasi di pandang sebagai proses berbagi pengalaman atau informasi antar individu melalui dialog. Hubungan baik antar individu mendapat kedudukan yang tinggi dalam tradisi ini. Dalam tradisi ini mengatakan bahwa bahasa adalah mewakili suatu pemaknaan terhadap benda. Jadi, satu kata saja sudah dapat memberikan pemaknaan pada suatu hal yang ingin di maknai.
Pada dasarnya fenomenologi adalah suatu tradisi pengkajian yang digunakan untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Seperti yang dikemukakan oleh Littlejohn bahwa fenomenologi adalah suatu tradisi untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Dalam konteks ini ada asumsi bahwa manusia aktif memahami dunia disekelilingnya sebagai sebuah pengalaman hidupnya dan aktif menginterpretasikan pengalaman tersebut. Asumsi pokok fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena itu interpretasi merupakan proses aktif untuk memberikan makna atas sesuatu yang dialami manusia. Dengan kata lain pemahaman adalah suatu tindakan kreatif, yakni tindakan menuju pemaknaan.
Manusia memiliki paradigma tersendiri dalam memaknai sebuah realitas. Pengertian paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan sesuatu yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epistimologis yang panjang.
Fenomenologi menjelaskan fenomena perilaku manusia yang dialami dalam kesadaran. Fenomenolog mencari pemahaman seseorang dalam membangun makna dan konsep yang bersifat intersubyektif. Oleh karena itu, penelitian fenomenologi harus berupaya untuk menjelaskan makna dan pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala. Artinya fenomenologi merujuk kepada semua pandangan sosial yang menempatkan kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial.
Berdasar asumsi ontologis, penggunaan paradigma fenomeologi dalam memahami fenomena atau realitas tertentu, akan menempatkan realitas sebagai konstruksi sosial kebenaran. Realitas juga dipandang sebagai sesuatu yang sifatnya relatif, yaitu sesuai dengan konteks spesifik yang dinilai relevan oleh para aktor sosial. Secara epistemologi, ada interaksi antara subjek dengan realitas akan dikaji melalui sudut pandang interpretasi subjek. Sementara itu dari sisi aksiologis, nilai, etika, dan pilihan moral menjadi bagian integral dalam pengungkapan makna akan interpretasi subjek.
Tradisi fenomenologi berkonsentrasi pada pengalaman pribadi termasuk bagian dari individu – individu yang ada saling memberikan pengalaman satu sama lainnya. Komunikasi di pandang sebagai proses berbagi pengalaman atau informasi antar individu melalui dialog. Hubungan baik antar individu mendapat kedudukan yang tinggi dalam tradisi ini. Dalam tradisi ini mengatakan bahwa bahasa adalah mewakili suatu pemaknaan terhadap benda. Jadi, satu kata saja sudah dapat memberikan pemaknaan pada suatu hal yang ingin di maknai.
Tradisi fenomenologi menurut Creswell[3] adalah: “Where as biography reports the life of a single individual, a phenomenological study describes the meaning of the live experiences for several individuals about a concept or the phenomenom”. Dengan demikian, studi dengan pendekatan fenomenologis berupaya untuk menjelaskan makna pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala, termasuk di dalamnya konsep diri atau pandangan hidup mereka sendiri.
Fenomenologi juga merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Fenomenologi juga memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.
Edmund Gustav Albrecht Husserl (1859 – 1938) yang dikenal sebagai bapak fenomenologi sangat tertarik dengan penemuan makna dan hakikat dari pengalaman. Dia berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara fakta dan esensi dalam fakta, atau dengan kata lain perbedaan antara yang real dan yang tidak. Berikut adalah komponen konseptual dalam fenomenologi transendental Husserl:

a.       Kesengajaan (Intentionality)
Kesengajaan (intentionality) adalah orientasi pikiran terhadap suatu objek (sesuatu) yang menurut Husserl, objek atau sesuatu tersebut bisa nyata atau tidak nyata. Objek nyata seperti sebongkah batu yang dibentuk dengan tujuan tertentu maka jadilah batu permata. Objek yang tidak nyata misalnya konsep tentang tanggung jawab, kesabaran, dan konsep lain yang abstrak atau tidak real. Husserl menyatakan bahwa kesengajaan sangat terkait dengan kesadaran atau pengalaman seseorang dimana kesengajaan atau pengalaman tersebut dipengaruhi oleh faktor kesenangan (minat), penilaian awal, dan harapan terhadap objek. Misalnya minat terhadap dunia pendidikan akan menentukan kesengajaan kuliah di bidang pendidikan.

b.      Noema dan Noesis
Noema atau noesis merupakan turunan dari kesengajaan atau intentionality atau  maksud memahami sesuatu, dimana setiap pengalaman individu memiliki sisi obyektif dan subyektif. Noema adalah sisi obyektif dari fenomena, artinya sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan, atau sekalipun sesuatu yang masih akan dipikirkan (ide). Sedangkan sisi subyektif noesis adalah tindakan yang dimaksud (intended act) seperti merasa, mendengar, memikirkan, dan menilai ide.
c.       Intuisi
Intuisi yakni kemampuan membedakan “yang murni” dan yang diperhatikan dari the light of reason alone (semata-mata alasannya). Intuisi lah yang membimbing manusia mendapatkan pengetahuan. Bagi Husserl, intuisi yang menghubungkan noema dan noesis. Inilah sebabnya fenomenologi Husserl dinamakan fenomenologi transendental, karena terjadi dalam diri individu secara mental (transenden).
d.      Intersubjektivitas
Bahwa makna intersubjektif ini berawal dari konsep ‘sosial’ dan konsep ‘tindakan’. Konsep sosial didefinisikan sebagai hubungan antara dua atau lebih orang dan konsep tindakan didefinisikan sebagai perilaku yang membentuk makna subjektif. Akan tetapi, makna subjektif tersebut bukan berada di dunia privat individu melainkan dimaknai secara sama dan bersama dengan individu lain. Oleh karenanya, sebuah makna subjektif dikatakan intersubjektif karena memiliki aspek kesamaan dan kebersamaan (common and shared).

C.     Fenomenologi sebagai metode ilmu

Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena disini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali.
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.
Husserl mengajukan metode epoche untuk mencapai esensi fenomenologi. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran.
Selanjutnya, menurut Husserl epoche mempunyai empat macam, yaitu:
1.        Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adapt, agama maupun ilmu pengetahuan.
2.        Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.
3.        Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
4.        Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.

D.    Konsep Dasar

Peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Sosiologi fenomenologis pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh pandangan Edmund Husserl dan Alfred Schultz. Pengaruh lainnya berasal dari Weber yang memberi tekanan pada verstehn, yaitu pengertian interpretatif terhadap pemahaman manusia. Fenomoenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti oleh mereka.
Inkuiri fenomenologis memulai dengan diam. Diam merupakan tindakan untuk mengungkap pengertian sesuatu yang sedang diteliti. Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis adalah aspek subjektif dari perilaku orang. Mereka berusaha untuk masuk kedalam dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari.
Para fenomenolog percaya bahwa pada makhluk hidup tersedia pelbagai cara untuk menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa pengertian pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan.


E.     Fenomenologi dan Kebudayaan

Banyak antropolog menggunakan pendekatan fenomenologi dalam studi mereka tentang pendidikan. Kerangka studi antropologisnya adalah konsep kebudayaan. Usaha untuk menguraikan kebudayaan atau aspek-aspek kebudayaan dinamakan etnografi. Walaupun diantara mereka kurang sependapat tentang definisi kebudayaan, mereka memandang kebudayaan sebagai kerangka teoretis dalam menjelaskan pekerjaan mereka.
Dalam kerangka kebudayaan, apapun definisi khususnya, kebudayaan merupakan alat organisatoris atau konseptual untuk menafsirkan data yang berarti dan yang memberi ciri pada etnografi. Prosedur etnografi, apakah sama atau identik dengan pengamatan-berperanserta, percaya akan adanya prbedaaan kosa-kata dan telah berkembang dalam kekhasan akademis yang berbeda.
Sekarang ini peneliti telah menggunakan istilah etnografi untuk menunjuk pada setiap studi kualitatif, ada beberapa kenyataan yang menunjukkan bahwa sosiolog dan antropolog makin saling mendekat dalam hal melakukan penelitian dan orientasi teoretis yang mendasari pekerjaan mereka.Spradley (1980) sebagai antropolog terkenal menyatakan bahwa konsep kebudayaan sebagai pengetahuan yang dicapai mempunyai ciri umum yang sama dengan interaksi simbolik.

F.      Jenis-Jenis Tradisi Fenomenologi
Inti dari tradisi fenomenologi adalah mengamati kehidupan dalam keseharian dalam suasana yang alamiah. Tradisi memandang manusia secara aktif mengintrepretasikan pengalaman mereka sehingga mereka dapat memahami lingkungannya melalui pengalaman personal dan langsung dengan lingkungannya. Titik berat tradisi fenomenologi adalah Pada bagaimana individu mempersepsi serta memberikan interpretasi pada pengalaman subyektifnya. Adapun varian dari tradisi Fenomenologi ini adalah sebagai berikut:
1.      Fenomena Klasik, percaya pada kebenaran hanya bisa didapatkan melalui pengarahan pengalaman, artinya hanya mempercayai suatu kebenaran dari sudut pandangnya tersendiri atau obyektif.
2.      Fenomenologi Persepsi, percaya pada suatu kebenaran bisa di dapatkan dari sudut pandang yang berbeda – beda, tidak hanya membatasi fenomenologi pada obyektifitas, atau bisa dikatakan lebih subyektif.
3.      Fenomenologi Hermeneutik, percaya pada suatu kebenaran yang di tinjau baik dari aspek obyektifitas maupun subyektifitasnya, dan juga disertai dengan analisis guna menarik suatu kesimpulan.
G.    Prinsip dasar fenomenologi

Stanley deetz (dalam littlejohn, 1999:200) menyimpulkan tiga prinsip dasar dalam fenomenologi:
1.        Pengetahuan adalah kesadaran. Pengetahuan tidak disimpulkan dari pengalaman tetapi ditemukan secara langsung dari pengalaman yang disadari “conscious experience”. Contoh, untuk mendapatkan nilai yang bagus dari dosen saya harus rajin baik masuk kuliah, mengerjakan tugas dan tentu saja mempunyai hubungan yang baik dengan dosen pengasuh mata kuliah. Hal ini bukan saya simpulkan secara tidak sadar dari pengalaman-pengalaman tetapi saya temukan langsung dari pengalaman yang saya sadari.
2.        Makna dari sesuatu tergantung dari apa kegunaan sesuatu tersebut dalam kehidupan individu. Dengan kata lain, bagaimana hubungan kita dengan sesuatu ditentukan oleh apa makna sesuatu tersebut dalam kehidupan kita. Contoh, komputer jinjing (laptop) bagi seorang anak-anak berfungsi sebagai alat permainan games, bagi seorang mahasiswa berguna untuk mengetik tugas dan browsing internet, tetapi bagi seorang pialang saham laptop adalah sarana untuk bermain valas dalam memperoleh penghasilan.
3.        Bahasa adalah sarana makna. Kita mengalami dan memaknai dunia sosial kita melalui bahasa yang kita gunakan untuk mendefinisikan dan mengekspresikan dunia sosial tersebut. Contoh, kita bisa dengan mudah mengatakan bahwa sesuatu benda mempunyai makna tertentu dari label-label yang melekat padanya seperti ikan itu adalah binatang yang hidup di air walaupun tidak semua yang hidup di air itu adalah ikan. Contoh lainnya adalah televisi misalnya adalah suatu kotak (walaupun tidak semua televisi berbentuk kotak) yang mempunyai layar berfungsi menyiarkan gambar-gambar hidup berupa hiburan, berita atau yang lainnya bahkan dari tempat yang jauh dan seterusnya.

H.    Bracketing

Oleh karena paradigma interpretative percaya bahwa setiap individu melakukan interpretasi secara aktif, dan fenomenologi percaya bahwa pengetahuan didapatkan dari “conscious experience”, dan bagaimana individu memaknai segala sesuatu tergantung pada arti sesuatu tersebut dalam kehidupan individu (subyektif), maka peneliti fenomenologi tidak pernah mencari benar-salah dari pengalaman respondennya bahkan membenarkan atau menyalahkan pernyataan respondennya, tetapi peneliti fenomenologi berusaha mengejar bagaimana pengetahuan tersebut didapatkan respondenya atau bagaimana pernyataan tersebut bisa dikemukakan oleh respondennya.
Contoh, misalkan anda meneliti tentang budaya kawin siri di kalangan masyarakat. Lalu ketika anda menanyakan pada responden anda, alasan dia melakukan kawin siri,  lantas dia menjawab kalau kalau kawin siri adalah sarana untuk melampiaskan nafsu sexual dengan tidak melanggar aturan agama.
Sebagai peneliti fenomenologi, anda tidak diperbolehkan untuk langsung menyalahkan responden anda, atau ketika anda menuliskanya di penelitian anda, anda memberikan teori tentang bagaimana pengaruh teman di dalam membentuk perilaku kawin siri dengan tujuan untuk mendeskriditkan jawaban responden anda tadi. Tetapi sebagai peneliti fenomenologi, yang berusaha anda kejar/ temukan adalah bagaimana responden anda bisa memaknai kawin siri sebagaimana yang dia utarakan tadi.
Berkaitan dengan hal tersebut dikenal istilah bracketing di dalam fenomenologi. Bracket sendiri adalah sebuah kata kerja yang dalam bahasa Indonesia berarti mengurung. Disini berarti, selama melakukan penelitian fenomenologi seorang peneliti harus mengurung (bracket) pengetahuan dan kepercayaan-kepercayaan yang selama ini dimiliki dan diyakininya dalam rangka untuk mendapatkan true essence atau esensi murni dari fenomena yang ditelitinya. Huserl (dalam Moustakas, 1994) menyebut bracketing dengan istilah epoche.
Jadi interview guide yang anda buat diawal, hanya sebuah guide atau panduan awal tentang apa yang akan anda tanyakan kepada responden anda. Interview guide tersebut tidak menjadi harga mati pertanyaan-pertanyaan yang akan anda ajukan pada responden. Dalam setiap wawancara mendalam yang anda lakukan pertanyaan-pertanyaan yang anda ajukan akan berkembang seiring dengan jawaban-jawaban dari responden anda. Tetapi harap diingat kalau interview guide yang anda buatpun tidak anda buat dengan ngawur atau asal saja, tetapi tetap dia harus berangkat dari penelitian pendahuluan  (preliminary research) sebelumnya yang anda lakukan dan kajian pustaka yang sudah anda tulis.
I.       Penutup
Demikian penjelasan secara singkat tentang apa itu penelitian fenomenologi. Pada dasarnya fenomenologi adalah suatu tradisi pengkajian yang digunakan untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Para fenomenolog percaya bahwa pada makhluk hidup tersedia pelbagai cara untuk menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa pengertian pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan.
Adapun varian dari tradisi Fenomenologi ini adalah sebagai berikut:
1.      Fenomena Klasik, percaya pada kebenaran hanya bisa didapatkan melalui pengarahan pengalaman, artinya hanya mempercayai suatu kebenaran dari sudut pandangnya tersendiri atau obyektif.
2.      Fenomenologi Persepsi, percaya pada suatu kebenaran bisa di dapatkan dari sudut pandang yang berbeda – beda, tidak hanya membatasi fenomenologi pada obyektifitas, atau bisa dikatakan lebih subyektif.
3.      Fenomenologi Hermeneutik, percaya pada suatu kebenaran yang di tinjau baik dari aspek obyektifitas maupun subyektifitasnya, dan juga disertai dengan analisis guna menarik suatu kesimpulan.



DAFTAR PUSTAKA
Denzin K. Norman dan Lincoln S. Yvonna, Handbook of Qualitative Research, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).
Moustakas, Clark. Phenomenological Research Methods. (California: SAGE Publications, 1994)
Littlejohn, S. W. Theories of Human Communication 6th Edition. (Belmont, CA: Wadsworth. N/A, 1999)
Kuswara Engkus. Tradisi Fenomenologi pada Penelitian Komunikasi Kualitatif: Sebuah pengalaman akademis. Jurnal Mediator Vol.7 No.1 Juni 2006 Terakreditasi Dirjen Dikti SK No.56/DIKTI/Kep/2005.
Moeloeng Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013)


[1] Lexy J Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2013), hal.3.
[2] Catatan kuliah Dr. Martinis Yamin  4 Februari 2015.
[3] Engkus Kuswarno, Tradisi Fenomenologi pada Penelitian Komunikasi Kualitatif: Sebuah Pengalaman Akademis. Jurnal MediaTor, Vol.7 No.1 Juni 2006, hal.49.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Jalur (Path Analysis)

Analisis Jalur (Path Analysis) A.      Pengertian Analisis Jalur (path analysis) adalah suatu metode penelitian yang pertama kali dikembangkan oleh seorang ahli genetika yaitu Sewall Wright (Joreskog & Sorbom, 1996; Johnson & Wichern, 1992 dalam Riduwan dan Engkos Achmad Kuncoro, 2013:1). Analisis jalur adalah suatu bentuk terapan dari analisis multi regresi (Fraenkel dan Wallen, 1992 dalam Nidjo Sandjojo, 2011:11-12) menyatakan bahwa analisis jalur digunakan untuk menguji kemungkinan dari suatu hubungan sebab akibat   diantara tiga variabel atau lebih. Dengan demikian, analisis jalur pada dasarnya adalah sarana untuk menganalisis hubungan kausal antar variabel guna mengetahui baik pengaruh langsung maupun pengaruh tidak langsung diantara variabel bebas (independent variable) terhadap variabel terikat (dependent variable) . Dalam penelitian ilmu sosial, ekonomi, bisnis, pendidikan dan lainnya, pengaruh terhadap suatu variabel tidak selamanya didominasi oleh satu va

Etika Profesi Sistem Informasi

ARTIKEL ETIKA PROFESI SISTEM INFORMASI 1201095 WIRA LUCIANA 1201174 IVO YAYAN MARIAYAN 1201224 HERLINA             PROGRAM STUDI SISTIM INFORMASI SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER(STMIK) NURDIN HAMZAH    TAHUN 2015 ETIKA DALAM SISTEM INFORMASI P erkembangan   teknologi komputer sebagai sarana informasi memberikan banya keuntungan. Salah satu manfaatnya adalah bahwa informasi dapat dengan segera diperoleh dan pengambilan keputusan dapat dengan cepat dilakukan secara lebih akurat, tepat dan berkualitas. Namun, di sisi lain, perkembangan teknologi informasi, khususnya komputer menimbulkan masalah baru. Bahwa banyak sekarang penggunaan komputer sudah di luar etika penggunaannya, misalnya: dengan pemanfaatan teknologi komputer, dengan mudah seseorang dapat mengakses data dan informasi dengan cara yang tidak sah. Adapula yang memanfaatkan teknologi komputer ini untuk

PERSPEKTIF ILMU, SENI, DAN AGAMA DALAM KHAZANAH ILMU PENGETAHUAN, BUDAYA, DAN PERADABAN

PERSPEKTIF ILMU, SENI, DAN AGAMA DALAM KHAZANAH ILMU PENGETAHUAN, BUDAYA, DAN PERADABAN A.    PENDAHULUAN Saat ini kemajuan ilmu dan pengetahuan sedemikian pesatnya. Banyak fenomena aneh di masa lalu kini adalah merupakan kejadian biasa dan bisa dijelaskan secara nalar ilmiah. Sebagai contoh misalnya telefon yang bisa menghubungkan antarasatu orang dengan orang lain di benua yang berbeda, radio, televisi, internet yang bisa membawa kabar berita pada waktu yang bersamaan sampai pesawat terbang yang bisa menerbangkan manusia hingga ke luar angkasa dan lain sebagainya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tentu saja membawa dampak baik yang positif maupun negatif. Kemajuan itu juga tentunya seakan memberi definisi lain hubungan antara ilmu pengetahuan dengan agama, budaya dan peradaban. Agama sebagai wahyu yang berasal dari Tuhan pada hakekatnya adalah sumber dari kebenaran dan ilmu pengetahuan tidak mungkin salah. Budaya dan peradaban yang merupakan hasil akal budi manusi