Mencari Pemimpin Pro Negara Maritim
Oleh: Wahyu Dewanto
Pemilihan pemimpin (Presiden dan Wakil Presiden)
di Indonesia semakin dekat, suhu politik mulai menghangat. Individu maupun
kelompok yang ingin memegang tampuk kekuasaan Indonesia selama lima tahun
kedepan sudah mulai curi-curi start.
Partai-partai politik yang menjadi bakal
tumpangan juga sudah mulai menyusun strategi pemenangan. Setidaknya ada
beberapa individu yang tebar pesona baik secara terang terangan maupun terselubung
baik melalui iklan di media massa berupa advertising yang telah disiapkan oleh
tim sukses, pernyataan-pernyataan kontroversial sehingga menarik sang kuli
flashdisk untuk memberitakan maupun melalui baliho-baliho yang tersebar di
seluruh tanah air.
Sebenarnya fenomena seperti yang terjadi di
Indonesia saat ini adalah lumrah terjadi dimanapun dunia yang menganut paham
demokrasi. Dalam demokrasi mau tidak mau, suka ataupun tidak suka untuk menjadi
seorang pemimpin haruslah orang terkenal dan tentu saja banyak uang. Dua sisi
mata uang yang harus dimiliki seorang kandidat pemimpin. Di satu sisi kalau
ingin terkenal harus mempunyai uang, dengan uang pencitraan bisa dikondisikan.
Yang menjadi masalah dari mana uang tersebut didapat bagi seorang yang benar-benar
jujur penuh integritas dan tak mau korupsi?
Kalau kita boleh jujur, berapa sebenarnya gaji
seorang jenderal jika diakumulasikan sejak meniti karier berawal dia diangkat
sebagai perwira pertama? Berapa sebenarnya gaji seorang pegawai negeri golongan
tertinggi yang diakumulasikan sejak yang bersangkutan diangkat menjadi PNS?
Pertanyaan tersebut memang tidak memerlukan jawaban karena kita semua sudah
tahu apalagi latar belakang orang tua nya dahulu hanyalah seorang petani atau
seorang pedagang kecil misalnya.
Tuhan memang bisa memberi rejeki kepada seseorang
dengan cara yang tidak terduga-duga. Tetapi kalau kita sebagai manusia yang
realistis, rezeki yang diterima seseorang tentu saja ada sebab dan tentu saja
melalui suatu proses. Tidak mungkin seseorang menerima hadiah dari seseorang
dengan jumlah fantastis secara tiba-tiba. Dan tidak mungkin pula harta yang
berupa gaji yang dikumpulkan atau keuntungan hasil usaha yang disimpan di bank
tiba-tiba jumlahnya membengkak beribu-ribu kali lipat. Sejarah mencatat justru
simpanan di bank justru malah berkurang baik oleh sebab moneter berupa
penurunan nilai uang yang tidak sebanding dengan bunga simpanan ataupun karena
sebab lain seperti bank ditutup oleh pemerintah karena bank tersebut bangkrut,
salah urus ataupun sebab lain.
Baiklah, kalau masalah apa dan darimana uang yang
akan digunakan untuk menjadi pemimpin kita nafikan (tahu sama tahu –lah),
kembali ke persoalan pemimpin Indonesia di masa depan apa sebenarnya yang perlu
kita cermati untuk memilih pemimpin kita? Kriteria apa yang akan kita pilih?
Yang gagah dan ganteng (cantik) kah? Atau yang mempunyai ideologi yang sealiran
dengan kita? Atau yang kaya sehingga tidak akan mungkin korupsi? Atau yang
mempunyai visi dan misi yang sesuai dengan perkembangan jaman?
Kriteria kegantengan (kecantikan) mungkin pernah
kita gunakan dalam memilih calon pemimpin, begitu juga kekayaan, atau mungkin
yang se-ideologi? Coba mari kita bahas satu persatu secara singkat dari
kriteria tersebut diatas. Ternyata, kegantengan (kecantikan) tidaklah abadi
karena bisa jadi wajah ganteng (cantik) ternyata tidak mempunyai nyali jika
berurusan dengan mafia ataupun negara asing yang mendikte. Begitu juga dengan
pemimpin yang memang sudah kaya, ternyata harta itu ibarat meminum air laut
yang apabila kita minum akan menambah haus (selanjutnya imajinasi sendiri).
Begitu juga dengan yang seideologi, ternyata negara kita Indonesia yang
benar-benar majemuk ini baik dari segi keragaman agama, budaya, ideologi,
bahasa bahkan wilayah pun terdiri dari ribuan pulau. Artinya dengan memilih
pemimpin yang seideologi tetapi kaku justru akan membuat perpecahan.
Lalu apa sebaiknya kriteria yang kita perlukan
untuk memilih pemimpin jika kesemua yang telah disebutkan diatas tidak ada yang
sesuai? Pepatah bijak mengatakan pilihlah yang terbaik diantara yang terjelek.
Kita nafikan semua kriteria tersebut diatas, kita lihat saja apa sebenarnya
misi dan visi calon pemimpin yang akan memimpin kita lima tahun kedepan.
Kalau kita simak sejarah semenjak kita merdeka dari
penjajahan Jepang dan sebelumnya Belanda pada tahun 1945 ternyata ada yang
kurang tepat dari dari visi dan misi pemimpin kita sebelumnya. Bukan bermaksud
menyalahkan, tetapi bisa jadi itu adalah visi dan misi yang tepat digunakan
pada saat itu. Apanya yang tidak benar? Menurut hemat saya (penulis) dan
mungkin sebagian orang yang pernah membaca sejarah ternyata negara kita
(dahulu) adalah negara yang lebih besar dari Indonesia saat ini dengan
kekuasaan yang meliputi seluruh nusantara ditambah sebagian negara Philipina
hingga Malaysia saat ini. Lalu mengapa sekarang jadi berkurang? Ternyata akibat
dari kebodohan kita sendiri yang mau diadu domba oleh penjajah dengan politik devide et impera nya.
Terlepas dari fakta sejarah bahwa selama ratusan
tahun Indonesia diduduki penjajah bangsa asing
yang menjadi masalah adalah mengapa Indonesia yang dulu bisa jaya. Inti
persoalannya adalah visi dan misi pemimpinnya. Pemimpin Indonesia jaman dulu
baik itu jaman Majapahit dengan Patih Gadjahmada nya maupun Mataram kuno yang
didirikan Raja Sanjaya ternyata mereka semua mempunyai visi dan misi yang sama
yaitu konsep negara maritim. Dengan konsep negara maritim lah mereka sukses
mempersatukan nusantara yang walaupun harus diakui dikalahkan oleh
bangsa-bangsa eropa yang mempunyai ilmu dan pengetahuan yang lebih tinggi.
Kalau boleh kita mengadopsi keduanya, yakni
meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat dengan mengusung konsep
negara maritim tentu saja Indonesia dimasa depan akan menjadi suatu kekuatan
yang sangat besar, bukan hanya sekedar macan asia (yang sekarang sudah ompong)
tetapi bisa menjadi model negara yang stabil secara politik dan ekonomi, gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto
raharjo seperti yang diidam-idamkan pendiri negara kita dahulu. Dengan kestabilan
politik dan ekonomi yang sedemikian kuatnya, bukan hal mustahil Indonesia bisa
ikut secara aktif menjaga perdamaian dunia.
Tulisan II
Menyambung tulisan yang lalu, konsep negara
maritim seperti yang diadopsi oleh Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Mataram
Kuno, Indonesia di masa lalu perlu sedikit saya jelaskan sebagai berikut.
Seperti telah kita ketahui bersama bahwasanya luas
wilayah Indonesia walaupu belum diketahui secara pasti setidaknya dua pertiga
(2/3) nya adalah merupakan lautan. Bahkan pakar hukum laut Indonesia Prof. Hasyim
Djalal mengatakan bahwa ketika kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada
tanggal 17 Agustus 1945, daratan Indonesia adalah semua yang mencakup bekas
wilayah Hindia Belanda dengan batas laut teritorial hanya 3 mil dari garis
pantai masing-masing pulau sehingga secara total luasnya 10.000 kilometer
persegi dan wilayah udara sekitar 2 juta kilometer persegi yang berada diatas
tanah dan laut teritorial. Wilayah itu kian bertambah semenjak Deklarasi Juanda
pada tanggal 13 Desember 1957 dengan Wawasan Nusantara nya yang mengukur batas
laut teritorial RI menjadi 12 mil diukur dari garis pangkal lurus yang
menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar dari kepulauan
Indonesia. Dengan deklarasi ini, praktis wilayah laut Indonesia berubah menjadi
3 juta kilometer persegi.
Belum cukup dengan Wawasan Nusantara? Ternyata
dalam konvensi PBB tentang Hukum Laut pada tahun 1982, Indonesia juga berhak
atas 12 mil laut teritorial dari garis pangkal lurus kepulauan, lainnya adalah
zona 12 mil di luar wilyah laut yang berdekatan, hak-hak yang berdaulat atas
sumber daya alam dan yurisdiksi lainnya di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) berupa
200 mil dari garis lurus nusantara dan landas kontinen (wilayah dasar laut)
dengan batas terluar ZEE atau batas “benua margin” yang berarti masih harus ada
perpanjangan alami dari wilayah daratan Indonesia ke dasar laut dari lautan di
luar ZEE. Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 (UNCLOS 1982) ini telah
diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 17/1985 dan diberlakukan sejak 16
Nopember 1994 yang berarti telah
diterima oleh masyarakat Internasional secara keseluruhan. Dengan Zona Ekonomi
Ekslusif ini berarti wilayah laut Indonesia menjadi 60 kali dari wilayah laut pada
saat proklamasi kemerdekaan tahun 1945 yang berari wilayah laut Indonesia
menjadi 6 juta kilometer persegi.
Melihat data-data tersebut diatas, adalah salah
besar apabila calon pemimpin Indonesia kedepan tidak menjadikan atau memasukkan
Inonesia sebagai negara maritim ke dalam visi dan misi nya.
Perubahan kebijakan dari negara agraris menjadi
negara maritim sebenarnya bukan sekedar di tataran visi dan misi pada saat
kampanye saja, tetapi lebih dari itu bermakna filosofis dengan perubahan yang
sangat mendasar di segala bidang yang pada akhirnya akan terjadi sebuah
revolusi sosial politik yang bukan saja mengubah wajah Indonesia secara
parsial, tetapi akan benar-benar menjadi sebuah negara baru yang modern yang
bertumpu pada kemampuan yang nyata.
Mengapa harus diubah dari negara agraris menjadi
negara maritim? Apa yang salah dari penyebutan tersebut?
Tidak bisa dipungkiri, kurikulum dalam pendidikan
di Indonesia semenjak masa orde lama, orde baru hingga sekarang ini jelas
dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara agraris sehingga tumpuan
utama dari pembangunan dan pendapatan negara dialokasikan kepada sektor
pertanian, perkebunan dan pertambangan. Implikasinya arah pembangunan
dipusatkan ke daerah pedalaman dengan cara menebang hutan untuk membangun atau mencetak sawah dan kebun baik
karet atau sawit juga pertambangan yang merusak lingkungan.
Akibatnya? Ekosistem hutan rusak menyebabkan
banjir yang parah di banyak wilayah karena tidak ada hutan yang menjaga
keseimbangan air yang mengalir dari daerah tinggi ke daerah rendah. Rusaknya
hutan juga menyebabkan satwa-satwa yang banyak hidup di hutan-hutan tropis
terancam kepunahannya, bahkan binatang buas mulai keluar dari habitatnya masuk
kampung karena hutan di tempat asalnya ekosistem nya sudah rusak. Disisi lain, kampung-kampung
kecil di tengah pulau karena Indonesia sendiri terdiri dari pulau-pulau baik
besar maupun kecil berkembang menjadi kota-kota perdagangan dan industri yang
maju, sehingga banyak pabrik didirikan yang bukan hanya membutuhkan
infrastruktur berupa jalan, jembatan, bandara dan lain sebagainya tetapi juga
menjadi pusat konsentrasi warga yang mencari penghidupan yang lebih layak
dibandingkan apabila bercocok tanam di desa.
Ekonomi desa yang menjadi penyangga kota
benar-benar terjepit. Sawah dan perkebunan besar yang ada di desa ternyata
sudah dimiliki oleh investor yang ternyata lebih senang tinggal di kota yang
infrastrukturnya lebih baik. Uang hasil pertanian dan perkebunan sebagian besar
mengalir ke tangan investor yang tinggal di kota, dibelanjakan di kota sehingga
kota berkembang semakin pesat dan desa semakin lama semakin tertinggal.
Untuk membangun infrastruktur kota, pengelola
negara tidak segan-segan berhutang kepada negara asing atau lembaga asing
dengan jaminan sawah, kebun atau tambang yang ada. Bisa ditebak, pinjaman akan
semakin menambah beban perekonomian karena negara ataupun lembaga asing tidak
meminjamkan uangnya dengan cuma-Cuma. Maka wajar jika beberapa tahun yang lalu
Indonesia sempat hampir kolaps diterjang badai krisis moneter yang sebenarnya
tidak seberapa. Dikatakan tidak seberapa karena disaat negara tetangga kita
sudah pulih ternyata masih menunggu waktu yang relatif lama bagi Indonesia
untuk pulih. Badai ini pun memberikan imbas berupa penggantian rezim secara
tidak normal karena tekanan pihak asing.
Kemajuan di kota-kota tentunya juga berdampak
terhadap pola migrasi masyarakat sehingga sistem transportasi lebih
mengandalkan jalan-jalan yang menghubungkan antara satu kota dengan kota
lainnya. Akibatnya juga sudah bisa ditebak, tiap tahun pemerintah menganggarkan
dana yang cukup besar untuk perbaikan jalan yang di hari-hari biasa jalan
digunakan untuk transportasi barang dan jasa hasil industri, kebun dan tambang
sehingga mempercepat kerusakan karena tidak sesuai dengan kapasitas. Tetapi
pada momen-momen ritual tahunan harus segera diperbaiki untuk mengangkut dan
memindahkan masyarakat yang mudik atau pulang kampung setahun sekali seperti
lebaran dan natal atau tahun baru.
Sementara itu coba kita lihat kota-kota kecil di
pesisir pantai. Bisa dikatakan hampir sebagian besar kota-kota dipesisir pantai
adalah kota kecil dan merupakan kantong-kantong kemiskinan dengan penduduk
sebagian besar nelayan miskin dan kumuh. Hasil limbah beacun dan berbahaya
hasil buangan pabrik dan masyakat berupa sampah-sampah terutama plastik yang
sulit terurai mengalir semua ke arah pantai. Mereka tidak sanggup untuk
mengatasinya, bahkan untuk memikirkannya karena keterbatasan dana ataupun ilmu
yang mereka punya. Akhirnya mereka Cuma bisa pasrah dan bersahabat dengan
limbah yang hanya akan menambah kekumuhannya.
Kalau daftar tersebut diatas diperpanjang, niscaya
akan lebih banyak lagi dan tidak pada tempatnya dalam tulisan di surat kabar
dengan halaman yang terbatas. Tulisan ini dimaksudkan hanya sebagai gambaran
bagi calon-calon pemimpin kita dimasa depan terlepas bagaimana mereka mendapatkan
dana kampanye yang sanggup meloloskannya
untuk menjadi pemimpin.
Bahwasanya jika orientasi pembangunan diarahkan
sebagai negara maritim, tentu saja pembangunan akan banyak dipusatkan ke
daerah-daerah sekitar pantai. Kota-kota kecil sepanjang pantai pasti akan maju
dan berkembang sehingga akan menyebabkan efek berganda berupa ekonomi uang yang
beredar di kota-kota pantai. Ini jelas berpengaruh positif karena ada gula ada
semut dan masyarakat tentunya akan mencari dimana uang atau gula itu berada. Kota
pantai akan menjadi kota-kota bandar yang ramai sehingga di kampung akan
terjadi deforestasi atau penghutanan
kembali karena ditinggal oleh masyarakatnya. Ekosistem menjadi terjaga karena
binatang, tumbuhan dan ada yang di dalam hutan mampu melindungi kota-kota
pantai dengan suplai air bersih untuk kebutuhan masyarakat, dan disisi lain
tidak ada aliran sampah atau limbah yang mencemari kota.
Kalau kita boleh jujur, sebenarnya berapa sih luas
daratan Indonesia yang layak dihuni? Coba kita hitung hitungan kasar dan ini
bisa ditindak lanjuti dengan data yang lebih akurat. Luas pulau yang besar di
Indonesia sepert Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi serta Papua misalnya. Berapa
persen yang layak huni setelah dikurangi gunung/ pegunungan, hutan, sawah/
ladang perkebunan dan pertambangan serta
sungai dan daerah-daerah tidak layak huni karena sifat seperti padang tandus
yang susah didapat air bersih.
Sudah selayaknya pemimpin memikirkan hal tersebut
diatas. Apabila ada pemimpin yang mempunyai visi dan misi mengubah negara
agraris menjadi negara maritim maka
lebih layak kalau kita beri kesempatan. Semoga tulisan ringkas ini bisa menjadi
inspirasi kita semua.
(Dimuat di Jambi Ekspres, 7/8 Juli 2013)
Komentar
Posting Komentar